Organisasi dimanapun butuh kepemimpinan karena tanpa kepemimpinan organisasi tidak akan berjalan dengan baik dan efektif. Inilah sebabnya bila kita berbicara organisasi maka kita juga harus membicarakan bagaimana kepemimpinan dalam organisasi. Di banyak literatur kepemimpinan organisasi (organizational leadership) justru lebih banyak dibahas dibanding organisasi itu sendiri.
Terdapat beberapa versi kepemimpinan dan seringkali kepemimpinan dipersepsikan secara salah sebagai manajemen. Sederhananya, perbedaannya adalah apabila anda memimpin orang lain namun anda berjalan sendiri tanpa diikuti oleh satupun orang yang anda pimpin, itulah manajemen. Bedanya yang lain adalah manajemen adalah memimpin tanpa nilai (managing without value) dimana seluruh proses manajerial berupa merencanakan, mengorganisasi dan mengoordinasi strategi untuk pencapaian tujuan organisasi, sedangkan tugas pemimpin adalah untuk menginspirasi dan memotivasi. Walaupun berbeda namun kepemimpinan dan manajemen memang harus sejalan dan saling melengkapi. Untuk bisa memimpin, pemimpin harus menerapkan nilai-nilai yang tentunya bisa dipanuti seluruh anggota organisasi. Dalam bukunya yang laris manis berjudul On Becoming a Leader, secara tepat Warren Bennis dengan mengatakan manajemen adalah melakukan hal dengan benar sedangkan kepemimpinan adalah melakukan hal yang benar.
Perbedaan yang paling mencolok antara kepemimpinan dan manajemen adalah bahwa kepemimpinan berasal dari dalam, sedangkan manajemen berasal dari luar. Manajemen mengelola manusia dengan menggunakan perangkat sistem dan proses yang telah dirancang untuk mengorganisasi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi demi pencapaian tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh para manajer disesuaikan dengan beberapa faktor eksternal yang memang membutuhkan beberapa penyesuaian yaitu karena adanya perubahan manajemen, restrukturisasi organisasi dan integrasi beberapa gagasan baru yang membutuhkan realokasi sumber daya, rekrutmen SDM dan branding yang baru. Seluruh proses ini membutuhkan manajemen yang efektif dan efisien yang berujung pada pencapaian tujuan organisasi.
Bagaimana dengan kepemimpinan? Jika sesuai uraian diatas manajemen adalah mengelola sumber daya dengan menggunakan perangkat, sistem, prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya, Manajemen yang efektif tetap harus merespon perubahan dengan melakukan beberapa justifikasi yang diperlukan. Kepemimpinan adalah sebaliknya. Pendekatan kepemimpinan seperti yang telah disampaikan adalah berasal dari dalam (intrinsik) untuk melayani orang-orang dengan nilai-nilai kebijakan dan kebaikan sehingga orang-orang secara sukarela mengikuti dan antusias dalam mewujudkan tujuan organisasi. Tampak jelas bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dalam menginspirasi orang-orang yang dipimpinnya melalui contoh atau teladan, sedangkan manajemen adalah seni untuk mengorganisasi dan mengoordinasi segala sesuatu secara sistematis dan efisien atau benar pada kesempatan pertama.
Namun, masih terdapat pandangan yang salah kaprah yang menyamakan kepemimpinan dengan manajemen. Sedikit mengupas hal ini sebelum kita membahas panjang lebar mengenai konsep kepemimpinan yang transformasional sebagai bahasan utama dalam artikel ini. Adalah perlu untuk mengoreksi kesalahan persepsi ini sehingga kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa organisasi membutuhkan kepemimpinan ketimbang manajemen untuk pencapaian tujuannya.
Berdasarkan konsep kepemimpinan klasik, terdapat tiga gaya kepemimpinan. Sebelumnya alangkah baiknya kita tahu apa saja faktor yang menentukan gaya kepemimpinan seseorang. Secara umum terdapat 4 (empat) faktor yang dapat mempengaruhi gaya kepemimpinan seseorang, yaitu:
l Kepribadian
l Sistem Kepercayaan
l Budaya Perusahaan
l Kemajemukan Karyawan
Kepribadian
Faktor ini tidak dapat disangkal memang merupakan faktor utama yang mempengaruhi gaya kepemimpinan seseorang. Pemimpin yang baik adalah seseorang yang mampu menjadi magnet dan menarik orang-orang terbaik dengan menggunakan karisma dan menjadi orang dengan kualitas kepribadian terbaik. Menurut Jim Rohn untuk menjadi seorang pemimpin karismatik bukan perkara yang gampang dan merupakan tantangan terbesar dalam kehidupan seseorang. Jim menambahkan seorang pemimpin perlu belajar untuk bisa menjadi keras bukan kasar, lembut bukan lemah, berani bukan memandang remeh, penuh pertimbangan bukan lamban, rendah hati bukan malu-malu, bangga bukan arogan, punya selera humor bukan tampak bodoh. Mengapa dikatakan bahwa menjadi pemimpin itu merupakan tantangan terbesar? Jawabannya karena karakter menyangkut kualitas diri pribadi seseorang dan musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Tidak sedikit tokoh yang mengklaim diri sebagai pemimpin justru gagal karena ditaklukkan oleh egonya sendiri. Lebih banyak lagi tokoh yang awalnya gagal namun karena kualitas kepribadian yang baik akhirnya menjadi seorang pemimpin. Pada konten laman daring, Time pernah mempublikasikan daftar 15 tokoh yang pernah sangat berkuasa namun akhirnya dijatuhkan melalui aksi kudeta diantaranya Ferdinand Marcos, Muammar Gaddafi, Saddam Husain, Hosni Mubarak dan Adolf Hitler. Mereka adalah tokoh-tokoh terkemuka dunia yang berakhir tragis karena gagal mengalahkan dirinya sendiri dan malah tunduk kepada egonya sehingga memerintah secara diktator. Menariknya, saat saya mengetikkan kata kunci “leaders that fail” di mesin pencari Bang Google, muncul satu artikel menarik bertajuk 13 Business Leaders Who Failed Before They Succeeded yang ditulis Lynn Truong. Lynn mencantumkan beberapa tokoh dunia yang mesti berjuang dan bekerja keras sehingga bisa meraih kesuksesannya dan menjadi pemimpin besar yang menginspirasi. Menurut Lynn, para tokoh ini membuktikan bahwa kesuksesan sesungguhnya merupakan 90 persen kegagalan. Para tokoh diantaranya Akio Morata, Bill Gates, Henry Ford dan Thomas Edison. Kisah kegagalan mereka diawal merintis usahanya menjadi pelajaran yang sangat berharga dan banyak dibahas dalam berbagai literatur manajemen.
Kemudian kita dapat menyimpulkan satu hal. Kesuksesan seorang pemimpin terutama tergantung kepada karakter pribadinya. Pemimpin yang karismatik adalah mereka yang mampu bersikap adaptif dan memiliki kemampuan berpikir besar. Apalagi seorang pemimpin kemudian lebih memikirkan hal-hal yang remeh temeh dan menjadi terobsesi untuk melakukan dibandingkan menjadi maka ini menjadi pertanda awal kejatuhan seorang pemimpin.
Beberapa indikasi kegagalan kepemimpinan yang terkait kepribadian lainnya yaitu ketiadaan kredibilitas dan integritas seorang pemimpin. Kredibilitas sebagai hasil dari penggabungan dua aspek yaitu kompetensi dan karakter. Sedangkan integritas merupakan prinsip moral yang dianut oleh seorang pemimpin yang mencegahnya untuk menghalalkan secara cara demi mencapai tujuan termasuk dengan mengorbankan para bawahannya yang dipandang sebagai pion semata. Pemimpin seperti ini sejatinya bukanlah pemimpin melainkan sebagai seorang manipulator karena tidak mampu mengelola kebutuhan fisik, psikologi, emosional dan spritualnya sehingga memanipulasi dan memanfaatkan bawahannya untuk kepentingannya saja. Kepemimpinan yang baik adalah mengenai hubungan antar personal yang saling memberdayakan antara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya.
Sistem Kepercayaan
Terkait dengan hubungan antar personal diatas, kredibilitas dan integritas merupakan hasil dari sistem kepercayaan yang dianut seorang pemimpin. Sistem kepercayaan inilah yang kemudian membentuk gaya kepemimpinan seseorang. Seringkali kita mengetahui ada dua orang dengan karakter atau kepribadian yang sama persis namun yang terjadi salah satunya lebih sukses dibanding yang lainnya. Ini disebabkan oleh apa yang disebut sebagai teori “inside out”. Kesuksesan seseorang ditentukan ditentukan oleh bagaimana dia mampu memanfaatkan kekuatan karakternya sebaik-baiknya. Secara tepat Simon Sinek menggambarkan hal ini sebagai leading from why yaitu pemimpin yang baik berfokus kepada alasan mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan bukan kepada bagaimana mereka melakukannya. Teori “inside out” dapat menjadi pembeda yang gampang antara seorang pemimpin dengan seorang manajer. Alkisah, dua orang dengan kemampuan yang setara diberikan target yang sama pula. Apabila ditanyakan bagaimana mereka bisa mencapai target tersebut jika jawabannya berupa pemberian diskon besar-besaran, promo yang semakin gencar, pengurangan biaya produksi untuk memperbesar marjin kontribusi dan lain-lain yang bersifat “how”, bisa dipastikan keduanya adalah manajer tulen. Seorang pemimpin akan mengambil sudut pandang yang berbeda. Mereka akan melihat target yaitu “what” dengan menjelaskan “why” terlebih dahulu. Tidak penting bagaimana mereka bisa mencapai, pemimpin mengajak para bawahannya untuk melihat mengapa mereka harus dan pasti bisa mencapai target tersebut. Pemimpin menginspirasi dan memotivasi bawahannya dan mereka akan memberikan yang terbaik karena percaya kesuksesan organisasi adalah kesuksesan mereka juga.
Budaya Perusahaan
Dalam organisasi setiap saat terjadi interaksi yang dinamis baik antar sesama karyawan maupun antar karyawan dan atasan. Jika pemimpin mampu menjaga hubungan antar personal dalam organisasi terjaga dengan apik dan kinerja bawahan semakin baik akan menyebabkan organisasi yang sukses. Apabila seluruh anggota organisasi saling berkomitmen untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi, ini akan menjadi budaya yang menjadi dasar bagi pemimpin berikutnya bagaimana menjaga kesuksesan organisasi tersebut. Kata kuncinya adalah perubahan dan dalam konteks ini peran kepemipinan transformasional sangat penting. Untuk itu dalam artikel ini saya akan sedikit membahas konsep budaya perusahaan (organisasi) sebagai salah satu pondasi yang penting dalam melakukan perubahan. Budaya organisasi yang baik tercipta melalui proses pembelajaran yang tidak singkat yang sebagian dipengaruhi oleh perilaku pemimpin dan sebagian lainnya adalah aspirasi seluruh anggota dalam organisasi tersebut. Jadi, saya tidak sepenuhnya sependapat jika dikatakan bahwa budaya organisasi hanya dipengaruhi oleh perilaku dan gaya kepemimpinan pemimpin. Budaya perusahaan dan kepemimpinan ibarat dua sisi uang logam yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Menyangkut budaya perusahaan, kepemimpinanlah yang menciptakan dan merubah budaya, sedangkan manajemen berperan dalam mengaplikasikan dan mematuhi budaya tersebut.
Sederhananya, budaya perusahaan merupakan cara “yang tepat” untuk berpikir, berkata, dan bertindak sesuai kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan. Definisi komplit budaya organisasi menurut Edgar H. Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadership adalah asumsi-asumsi dasar yang dianut secara bersama melalui proses pembelajaran sehingga dipercaya sebagai solusi atas seluruh permasalahan sebagai akibat dari adaptasi eksternal dan integrasi internal dan dipandang valid dan nantinya juga dapat dianut oleh seluruh anggota baru organisasi sebagai cara yang tepat untuk memikirkan, memandang dan mengambil tindakan terkait permasalahan tersebut.
Kemajemukan Karyawan
Diversitas atau kemajemukan merupakan suatu hal yang jamak terjadi termasuk dalam suatu organisasi. Perusahaan dalam merekrut karyawan tentu saja tidak boleh memandang asal daerah, suku, agama dan budaya mereka. Pemimpin yang baik harus dapat merangkum perbedaan-perbedaan tersebut sehingga tidak terjadi potensi konflik yang dapat mengganggu pencapaian tujuan organisasi. Pemimpin harus memahami perbedaan dan membuat perbedaan sebagai bagian integral dari organisasi yang dipimpinnya. Perbedaan karyawan juga bisa berupa perbedaan keahlian, karakter, kemampuan dan lain-lain. Inilah yang menjadi tantangan sebenarnya dan fokus perhatian seorang pemimpin yaitu membantu seluruh anggota organisasi mengembangkan diri mereka untuk menjadi yang terbaik dan saling menghargai antar karyawan apapun perbedaan mereka.
Teori dan Gaya Kepemimpinan
Kedua subyek ini memang merupakan bahasan menarik sehingga banyak literatur, baik berupa buku maupun artikel yang telah mengupas secara mendalam. Dan selama ratusan tahun teori kepemimpinan telah berevolusi berdasarkan hasil pengamatan empiris terutama terhadap beberapa tokoh terkemuka untuk menemukan jawaban terhadap apa yang menyebabkan seseorang menjadi seorang pemimpin yang karismatik.
Menurut Bernard M. Bass (1985) bahwa dalam suatu organisasi terdapat apa yang disebut sebagai mekanisme psikologis yang mendasari pilihan seorang pemimpin apakah dia pemimpin yang transformasional atau transaksional. Jadi hanya terdapat dua gaya kepemimpinan menurut teori ini yaitu yang kepemimpinan transaksional dan transformasional.
Namun, ternyata masih ada teori kepemimpinan yang lainnya selain kepemimpinan transaksional dan transformasional yaitu teori Manusia Utama (Great Man Theory), teori Sifat (Trait Theory), teori Perilaku (Behavioral Theory), teori Kontinjensi (Contingency Theory) teori Kekuatan dan Pengaruh (Power and Influence Theory). Teori-teori ini didasari atas gaya kepemimpinan dari pemimpin yang dianggap sukses. Mari kita kembali ke laptop untuk membahas masing-masing teori kepemimpinan tersebut.
Teori Manusia Utama (Great Man Theory)
Dalam teori ini pemimpin besar itu dilahirkan bukan diajarkan. Jadi tokoh-tokoh pemimpin besar seperti Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, dan Napoleon Bonaparte adalah tokoh yang memang dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi pemimpin besar (born and destined to be great leaders). Bagaimanapun kondisi suatu lingkungan maupun organisasi, pemimpin yang memang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin akan hadir dan menginspirasi para pengikutnya dengan karismanya.
Teori Sifat (Trait Theory)
Teori ini menganggap bahwa seorang pemimpin memiliki atribut-atribut seperti kepribadian, motif, nilai dan keahlian yang lebih dibandingkan orang lain. Pemimpin yang efektif adalah yang memiliki atribut-atirbut tersebut secara alami dan beberapa karakter menonjol lainnya diantaranya ambisi dan semangat yang besar, intuisi yang tajam, kemampuan persuasif yang baik, kejujuran dan integritas, kepercayaan diri yang tinggi, intelijensi yang melampaui rata-rata dan sangat menguasai bidangnya.
Teori Perilaku (Behavioral Theory)
Berbeda dengan teori manusia utama dan teori sifat, teori ini berupaya untuk menjelaskan kepemimpinan sesuai apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Kedua teori yang lain berupaya menjelaskan apa seorang pemimpin itu dengan melihat sifat dan karakternya. Teori ini percaya bahwa seorang pemimpin dinilai dari apa yang dilakukannya. Walaupun seseorang memiliki beberapa sifat seorang pemimpin, namun hal tersebut tidak akan berarti apabila dia belum memberikan kontribusi penting bagi organisasi yang dipimpinnya. Dari teori ini kemudian berkembang beberapa teori kepemimpinan behavioral lainnya seperti otokratik, demokratik dan laissez-faire. Beberapa studi yang dilakukan oleh para pengusung teori ini berupaya untuk mengisolasi faktor-faktor penentu kepemimpinan yang efektif.
Teori Kontinjensi (Contingency Theory)
Jika teori sifat dan perilaku membantu memahami sisi personalitas seorang pemimpin, namun masih ada satu sisi yang juga sangat mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin yaitu lingkungan. Menurut pengusung teori ini, kesuksesan seorang pemimpin merupakan sebuah fungsi dari beberapa variabel yang bersifat kontinjensi. Seorang pemimpin yang mungkin dipandang sukses di satu organisasi belum tentu sukses di organisasi lain apabila dihadapkan pada situasi atau faktor yang berbeda. Contoh yang paling gampang dapat kita lihat pada beberapa pelatih sepakbola terkemuka yang sekarang melatih klub-klub Liga Inggris. Siapa tidak kenal Pep Guardiola atau Mourinho yang pernah sukses membawa klub yang dilatihnya meraih treble winner? Mereka dijuluki pelatih dengan sentuhan midas karena mampu merubah klub medioker menjadi klub kampiun. Namun, barangkali karena adanya faktor kontinjen berupa perbedaan karakter permainan maupun iklim kompetisi sehingga mereka belum berhasil membawa klub yang dibesutnya menjadi juara di Liga Premier tersebut.
Teori Kekuasaan dan Pengaruh (Power and Influence Theory)
Pertanyaan yang mendasari teori ini adalah apakah yang menjadi sumber kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh seorang pemimpin? Karena jabatan dan posisi, seseorang biasanya memiliki kekuasaan yang melekat pada jabatannya namun ingat kutipan yang seringkali kita dengar saat menonton film Spiderman “with great power comes great responsibility” maka tanggungjawab seorang pemimpin juga akan semakin meningkat. Sering kita saksikan pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kecurangan dan menjadi tirani diantaranya beberapa tokoh terkenal yang saya telah sebutkan sebelumnya. Namun, memiliki kekuasaan tidak berarti seseorang memiliki pengaruh karena tidak sedikit pula kepala negara yang akhirnya dicopot karena telah kehilangan pengaruh dan kepercayaan dari masyarakatnya.
Untuk menjawab pertanyaan apakah sumber kekuasaan dan pengaruh seorang pemimpin, John French dan Bertram Raven telah sangat membantu kita. Menurut memperkenalkan lima jenis kekuasaan pada 1959. Kelima jenis kekuasaan tersebut adalah:
l Reward Power
l Expert Power
l Legitimate Power
l Coercive Power
l Referent Power
Tantangan seorang pemimpin adalah mengenali karakter orang-orang yang dipimpinnya dan memilih “power” yang sesuai sehingga berdampak positif terhadap kinerja dan kontribusi mereka terhadap organisasi.
Reward Power
Barangkali kita salah seorang yang sepakat bahwa uang bisa membeli segalanya termasuk kekuasaan. Pikirkan lagi, karena adalah benar bahwa uang tidak bisa membeli kebahagian bukan? Reward, bonus, jasa produksi, tantiem atau apalah istilahnya yang merupakan reward masih dianggap memberikan efek pengaruh yang besar. Kemudian muncul istilah non-financial reward atau penghargaan yang tidak berupa uang atau finansial. Organisasi yang mampu memberikan reward yang baik dan besar kepada karyawan akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengendalikan karyawan untuk memberikan kontribusi yang lebih baik. Lha wong para karyawan ini termotivasi untuk memberi lebih sehingga mendapat lebih kan. Masalah akan muncul jika motivasi karyawan berubah bukan melulu gaji atau bonus lagi atau organisasi mengalami permasalahan sehingga tidak bisa memberikan reward lagi atau jumlah reward lebih kecil dari sebelumnya.
Expert Power
Jenis kekuasaan ini diperoleh oleh seseorang yang diangkat menjadi pemimpin karena kapasitas keilmuan atau pengalamannya. Mereka dipandang akan mampu membawa para anggota organisasi dalam menghadapi berbagai tantangan dan menyelesaikan berbagai persoalan karena memiliki keahlian yang sangat mumpuni. Biasanya tokoh yang dikagumi dan dikenal karena kedalaman ilmu dan sangat menguasai bidangnya akan berkarir cemerlang dan diangkat sebagai pemimpin karena dipercaya sangat mampu dalam memimpin. Biasanya ini sering lihat terjadi pada perusahaan-perusahaan baik swasta maupun BUMN yang mengangkat jajaran direksi berdasarkan rekam jejak mereka yang cemerlang selama ini.
Menurut Gary Yukl dalam bukunya berjudul Leadership in Organizations bahwa ringkasnya teori-teori kepemimpinan dideskripsikan di banyak literatur dapat diklasifikan kedalam tiga landasan teori dan dapat dijadikan dasar untuk membandingkan teori-teori kepemimpinan tersebut yaitu: (1) teori leader-centered versus teori follower-centered, (2) teori universal versus teori kontinjensi, dan (3) teori deskriptif versus teori preskriptif.
Teori Leader-Centered versus Teori Follower-Centered
Sebenarnya teori kepemimpinan yang sudah dibahas sebelumnya dapat dimasukkan sebagai teori yang berfokus pada indikator-indikator yang harus ada pada seorang pemimpin (leader-centered) berupa sikap, perilaku dan keahlian pemimpin. Menurut para pengusungnya, suksesnya organisasi sangat tergantung kepada kualitas pemimpinnya sehingga organisasi sangat membutuhkan pemimpin yang efektif. Kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi, memotivasi, dan memampukan orang-orang yang dipimpinnya untuk memberikan kontribusi terbaik terhadap efektivitas dan kesuksesan organisasi. Dari definisi tersebut peran pemimpin sangatlah vital dan berdasarkan teori leader-centered organisasi seharusnya berfokus terhadap bagaimana menemukan seorang pemimpin yang tepat.
Sedangkan teori follower-centered memandang bahwa kesuksesan organisasi hanya dapat dicapai karena kontribusi dan partisipasi para anggota organisasi. Organisasi yang mengadopsi teori ini dapat diketahui dengan melihat bagaimana organisasi tersebut memperlakukan para karyawannya. Organisasi yang berorientasi kepada follower-centered akan memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga dan akan bersedia untuk menggelontorkan lebih banyak investasi untuk memberdayakan dan mengembangkan seluruh karyawannya. Struktur organisasinya sederhana dan memudahkan koordinasi dan hubungan yang sangat baik antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya dan organisasi memperlakukan mereka secara sama.
Teori Deskriptif versus Preskriptif
Dalam teori desktiptif akan dijelaskan beberapa sifat, sikap dan perilaku yang umumnya dimiliki oleh para pemimpin yang efektif (what). Sedangkan teori preskriptif menjelaskan mengapa (why) pemimpin harus mengadopsi sifat, sikap dan perilaku tersebut agar menjadi efektif. Secara lebih gamblang John Antonakis dan kawan-kawan dalam buku berjudul The Nature of Leadership menulis bahwa teori deskripsi menjelaskan kondisi yang sebenarnya yaitu beberapa elemen kepemimpinan yang terbukti efektif dan membawa kesuksesan bagi suatu organisasi, sedangkan teori preskriptif beranggapan karena kondisi satu organisasi dengan organisasi berbeda maka pemimpin harus adaptif dengan mengadopsi sikap, perilaku dan keahlian yang sesuai dengan kondisi organisasi yang dipimpinnya. Jadi, teori preskriptif sifatnya normatif atau apa yang seharusnya dilakukan seorang pemimpin jika dihadapkan pada kondisi lingkungan yang berbeda atau organisasi yang tidak sama. Contoh Coach Pep diatas bisa kita ambil sebagai contoh. Sebuah artikel di laman daring yang ditulis oleh Parth Banushali berjudul Will Pep Guardiola Succeed at Manchester City? mengawali dengan data mengapa Pep dikatakan sebagai pelatih terbaik dunia saat ini. Pep telah memenangi 21 gelar juara dalam karir kepelatihannya selama 7 tahun berkiprah atau rerata 3 gelar setiap tahunnya. Pep mungkin sukses saat melatih Barcelona dan Bayern Munchen, namun Manchester City adalah sebuah klub yang jauh berbeda. Bisa dibilang kebetulan kalau Barcelona dan Bayer Munchen merupakan dua klub yang sudah sangat mapan, langganan juara baik di liga domestik maupun antar negara, dan dikenal memiliki pemain-pemain kelas dunia dengan talenta tinggi. Sedangkan Manchester City merupakan klub yang berada di liga yang berbeda!
Teori Universal versus Teori Kontinjensi
Terkait dengan teori preskiptif, kedua teori ini berupaya mencari aspek-aspek kepemimpinan yang bersifat adaptif. Teori universal menjelaskan aspek-aspek kepemimpinan yang bisa berhasil dan diaplikasikan ke dalam seluruh jenis situasi sedangkan teori kontinjensi hanya menjelaskan beberapa aspek kepemimpinan yang mungkin hanya berhasil dalam situasi A namun tidak cocok untuk situasi B, C, dan lain-lain. Untuk setiap situasi, teori ini telah menyiapkan skenario-skenario lain yang lebih tepat.
(Diikutkan pada Lomba Menulis Artikel dalam rangka HUT PPM Indonesia 2017)
Komentar
Posting Komentar