Pertanyaan yang menggelitik,
bukan? Apabila anda yang saat ini bekerja sebagai frontliner atau sebagai staf
di bagian customer service ditanyakan pertanyaan tadi, kira-kira apa jawaban
anda? Saya yakin 1001 persen anda akan menjawab tentu saja! Itu sudah menjadi
job description sehari-hari! Anda yakin 10000 persen dengan jawaban anda? Bisa jadi
benar anda melayani nasabah, tetapi sesungguhnya anda tidak benar-benar
melayani nasabah anda.
"We are what we repeatedly do. Excellence is then not an act, but a habit"
By Aristotle
Aristoteles pernah berujar, ”kita
adalah apa yang berulang-ulang kita lakukan. Kesempurnaan pada akhirnya
bukanlah sebuah tindakan melainkan sebuah kebiasaan. Kalau ada sebuah bank yang
dengan bangga mengklaim sebagai legenda di pelayanan nasabah karena mampu
meraup 7 kali secara berturut-turut best
bank in service, pikirkan kembali. Atau kalau beberapa perusahaan ternama
menyatakan bahwa pelayanan nasabah mereka sudah sangat handal, belum tentu itu
kenyataannya. Di media-media cetak maupun maya, masih sangat sering kita baca keluhan-keluhan
yang disampaikan oleh para nasabah perusahaan yang mengklaim sebagai jawara service
tersebut. Atau anda bisa mencoba merasakan sendiri atmosfir service di
perusahaan-perusahaan tersebut. Apakah sudah sesuai atau bahkan melampaui
ekspektasi anda? Barangkali belum.
Melayani nasabah dengan benar
tentu saja berbeda dengan benar-benar melayani nasabah. Melayani nasabah dengan
benar adalah melayani nasabah sesuai dengan parameter-parameter standar layanan
yang disusun berdasarkan best practices.
Hasilnya adalah nasabah merasa puas dengan pelayanan ramah dari para staf yang
selain cantik juga ramah. Pertanyaannya kemudian apakah kepuasan akan
menghasilkan nasabah yang loyal? Jawabannya adalah belum tentu. Sering terjadi
adalah nasabah akan tetap bertransaksi dengan kita hanya selama mereka merasa
cukup puas dengan layanan atau produk kita. Pada saat mereka menemukan produk
maupun layanan yang lebih baik atau saat mereka kecewa dengan layanan kita,
mereka akan segera pindah ke lain hati.
Dalam artikelnya yang dimuat di Harvard
Business Review On Point berjudul Why
Satisfied Customers Defect, Thomas O. Jones dan W. Earl Sasser, Jr menulis
bahwa berdasarkan hasil penelitian keduanya di Xerox Corporation ditemukan
bahwa kemungkinan nasabah yang puas untuk membeli kembali hanya 6 persen saja.
Menurut keduanya, loyalitas nasabah merupakan satu-satunya driver yang penting untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan
dalam jangka panjang. Dan kiat jitu yang terbukti paling efektif yang dapat
dilakukan untuk menciptakan loyalitas nasabah adalah kemampuan untuk
mendengarkan nasabah.
Dalam sebuah artikel online
berjudul Are You Really Listening to
Your Customers?, Thomas White mengungkapkan bahwa meskipun saat ini sebagian
besar perusahaan telah memiliki manajemen database nasabah diantaranya berupa data-data
Customer Relationship Management yang
sangat lengkap dan valid, namun para staf di perusahaan-perusahaan tersebut masih
belum mendengarkan feedback yang
disampaikan oleh para nasabahnya. Akibatnya, para nasabah tersebut akhirnya
berhenti melakukan bisnis dengan perusahaan.
Jadi, jelas bahwa benar-benar
mendengarkan nasabah sangat penting untuk menciptakan loyalitas nasabah. Salah
satu dampak yang sangat jelas dari mendengarkan nasabah adalah perusahaan akan
mampu meningkatkan kualitas produk maupun layanan. Peningkatan kualitas layanan
maupun produk secara berkesinambungan merupakan prasyarat terpenting agar
perusahaan dapat melampaui ekspektasi-ekspektasi nasabah yang selalu
berkembang.
“Discovering what your customers are experiencing and really hearing what they have to say about it is not only good practice, but it’s what makes your business tick” by J.D. “Jamey” Power IV
Apapun masukan yang diperoleh
perusahaan baik saran, kritik, maupun keluhan nasabah terbukti jauh lebih
penting dibanding database nasabah. Perusahaan harus membuka saluran komunikasi
selebar-lebarnya dan memungkinkan nasabah untuk bertransaksi setiap saat.
Apalagi ditengah semakin pesatnya pengguna media-media social seperti Facebook,
twitter dan media internet dewasa ini. Harus diakui bahwa saat ini media social
telah merevolusi cara kita dalam berinteraksi dengan orang lain.
Erik Qualman menyebut fenomena
ini sebagai Socialnomics. Dalam artikel bertajuk How Social Media Transforms The Way We Live and Do Business, Erik
menulis bahwa media social memudahkan masyarakat untuk saling terkoneksi satu
sama lain dan selalu ter-update dengan
apa-apa yang terjadi dengan orang lain melalui apa yang disebutnya sebagai pengamatan
biasa (casual observation). Secara keseluruhan, public selalu ingin mengikuti
perkembangan-perkembangan terkini yang sedang terjadi dalam masyarakat, dan
media sosial merupakan media yang paling tepat untuk itu. Media social sekarang
bukan lagi merupakan milik peradaban barat saja tetapi sudah sangat akrab
sampai ke pelosok-pelosok kampung dan pedesaan. Informasi tidak hanya dapat
diperoleh dengan membaca surat kabar, menonton televisi, maupun informasi yang
beredar dari mulut ke mulut (word to mouth), melainkan sudah beredar secara
global antar manusia yang berada di belahan dunia yang berbeda (world to mouth)
berkat keajaiban media sosial.
Menurut Qualman media social dapat secara efektif membantu perusahaan
dalam meningkatkan loyalitas nasabah karena beberapa pertimbangan, yaitu:
- Individu lebih mempercayai informasi yang
disampaikan oleh teman-temannya dibandingkan informasi yang dilihatnya lewat
media periklanan konvensional. Akibatnya, masyarakat menggunakan media sosial
sebagai alat untuk membaca ulasan-ulasan secara berkala atas beberapa produk
atau layanan.
- Perusahaan seharusnya tidak berusaha untuk
menyembunyikan komentar-komentar negatif mengenai produk atau layanan mereka.
Sebaliknya, para nasabahnya harus terus dijangkau dan terinformasi melalui
media sosial, mendorong nasabah-nasabah untuk menyampaikan keluhannya, dan
secara bersama-sama mendiskusikan cara-cara yang dapat dilakukan oleh
perusahaan untuk perbaikan.
- Perusahaan harus menggunakan berbagai media
pemasaran online untuk memasarkan produk-produknya.
- Orang suka untuk membanggakan dirinya, dan media
sosial merupakan wadah yang paling tepat untuk itu. Jika seseorang merupakan pengguna setia suatu
atau beberapa produk kita, mereka akan menjadi pemasar secara sukarela dan
menyebarkan pujian dan kebanggaan atas produk kita tersebut ke sangat banyak
orang di seluruh penjuru dunia.
Kita telah seringkali menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa
dahsyatnya dampak media sosial. Setelah keputusan sidang paripurna DPR yang
mengesahkan RUU Pilkada melalui DPRD, dalam dua pekan tagar twitter
#ShameOnYouSBY dan #ShamedByYou menjadi trending
topic dunia yang berisi kecaman terhadap SBY dan fraksi Demokrat yang
memilih walkout sehingga menyebabkan
kekalahan Koalisi Indonesia Hebat dari Koalisi Merah Putih dalam pengesahan
tersebut. Selain itu kemenangan presiden dan wakil presiden baru Indonesia,
Jokowi dan Jusuf Kalla, dalam pilpres yang belum lama lewat sebagai bukti
kehebatan pasukan ‘nasi bungkus’ relawan Jokowi-JK mengalahkan pasukan media sosial
para pendukung Prabowo-Hatta. Kemenangan Jokowi-Ahok dalam pilgub DKI Jakarta
melawan petahana yang didukung
koalisi partai-partai besar yang kaya juga disebabkan tim sukses Jokowi-Ahok
yang secara cerdas mampu mendulang dukungan melalui media sosial. Bahkan
menurut pengakuan Jokowi sendiri, media sosial dipakai dalam
kampanye-kampanyenya terinspirasi dari kemenangan Presiden Amerika Serikat,
Barrack Obama, yang selama dua periode terpilih sebagai presiden berkat
dukungan media-media sosial.
Untuk itu media sosial selain media-media konvensional seperti
telepon, email, dan surat, dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengumpulkan
lebih banyak masukan dari para nasabahnya. Seburuk apapun masukan tersebut
harus diterima karena ketidakpuasan nasabah menjadi pertanda bahwa masih ada
produk maupun layanan perusahaan yang belum sesuai dengan ekspektasi nasabah
dan harus segera diperbaiki sehingga nasabah terus bertransaksi dengan kita.
Manado, 4 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar