Langsung ke konten utama

Menjadi Bos Yang Baik



Selama hampir 15 tahun berkarir di industri perbankan, sudah berbagai macam karakter pimpinan yang telah saya hadapi. Dari pimpinan yang ‘bersahanat’ sampai pimpinan yang senangnya memarahi para bawahannya. Bahkan, saya pernah alami didamprat habis-habisan oleh atasan sampai beliau melabrak meja saking kesalnya. Kemudian berkembang wacana stereotype dalam beberapa diskusi dengan teman bahwa perbedaan karakter seorang pimpinan salah satunya disebabkan oleh faktor daerah asal pimpinan tersebut. Dan kebetulan setelah kami saling membandingkan antara pimpinan-pimpinan kami dan asal daerahnya, ada beberapa yang sesuai namun sebagian besarnya keliru. Artinya, stereotype suku dan bangsa bukanlah faktor yang menentukan keras atau lembutnya seseorang dalam memimpin.
Kalau kita ditanyai tipe bos seperti apa yang kita sukai, tentu sebagian besar akan kompak menjawab lebih menyukai bos yang baik, sangat memperhatikan dan peduli kepada para bawahannya. Bahkan sebagian berpendapat bahwa umumnya tipe pemimpin yang baik seperti ini sangat cepat melejit karirnya terutama karena doa para bawahannya. Untuk bos yang suka marah, keras, dan sukanya mendikte bawahan apa yang mereka harus kerjakan, perjalanan karir mereka sering tidak secemerlang bos yang baik bahkan ada beberapa mantan bos yang saya tahu akhirnya pensiun lebih dini karena terserang stroke!
Pertanyaannya adalah benarkah bos yang baik itu lebih baik dan berhasil dibandingkan bos yang pemarah? Sama seperti anggapan kebanyakan orang, para peneliti Harvard Business School menunjukkan bahwa para pemimpin yang diproyeksikan baik atau hangat oleh bawahannya lebih efektif dalam memimpin dibandingkan para bos yang memimpin secara keras dengan asumsi level keahlian yang mereka miliki sama. Penyebabnya adalah adanya trust (kepercayaan) dari para bawahan kepada atasannya yang baik tersebut.
Jonathan Haidt, seorang peneliti dari Stern School of Business New York University, menemukan bahwa para atasan yang bersikap fair dan adil kepada para anggota timnya menyebabkan produktivitas angggota tim yang meningkat baik secara individu maupun secara tim. Menurut mereka hal ini disebabkan karena atasan yang baik menjadi role model yang menggerakkan dan memotivasi mereka untuk menjadi lebih baik. Hasil riset Jonathan Haidt juga menyimpulkan bahwa para anggota tim juga menjadi lebih loyal dan berkomitmen, menjadi pribadi yang bersahabat dan senang membantu rekan-rekannya yang lain. Budaya yang akrab seperti ini pada gilirannya akan meminimalkan tingkat stress baik secara psikologis maupun secara psikis. Interaksi sosial yang positif di lingkungan kerja akan meningkatkan kesehatan karyawan dan memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Berdasarkan data lembaga riset Gallup pada 2004 menemukan bahwa atasan yang baik dan akrab dengan para bawahan 2,5 kali lebih puas dengan pekerjaannya dan hasil ini membuktikan bahwa ‘berteman’ dengan bawahan banyak memberi faedah bagi perusahaan. Namun, Gallup juga menemukan bahwa atasan yang baik ternyata juga bisa memberikan dampak yang tidak baik terhadap karir bawahan, reputasi atasan, bahkan perusahaan.
Terutama bagi para atasan wanita yang umumnya dikenal memiliki kepedulian social dan empati yang cukup tinggi terhadap bawahannya menjadi atasan yang profesional bukanlah hal yang gampang. Sering para bos perempuan menjadi ‘teman yang baik’ dan selalu terbuka untuk mendengarkan keluh kesah para bawahannya kapanpun dan hal ini tentu saja dapat berpengaruh terhadap kinerja para atasan itu sendiri. Menurut Trisha Scudder, seorang executive coach dan pendiri The Executive Coaching Club, seorang bos tetap seorang bos yang harus selalu profesional termasuk saat berhubungan dengan para bawahannya. Keahlian yang terutama harus dikuasai adalah bagaimana mengenali karyawan yang potensial dan memberikan kontribusi atas prestasinya tersebut dan membantu para karyawan untuk meningkatkan jenjang karir tanpa harus bersikap terlampau baik.
Dalam jurnal Harvard Business Review, Emma Seppala, professor Stanford University, menulis bahwa pendekatan ‘distance’ atau memasang jarak dengan para bawahan awalnya diadopsi dari militer dimana para komandan memasang jarak dengan para tentaranya sehingga jelas hierarki komandonya. Lanjut Emma, pendekatan ini akan menyebabkan bawahannya menjadi bertambah stress yang terbukti merugikan kesehatan bawahan dan meningkatkan angka turnover karyawan. Sebaliknya, apabila para atasan berteman dengan baik dengan para bawahan sehingga tidak ada jarak diantara mereka justru memberikan beberapa manfaat yaitu meningkatkan loyalitas dan komitmen para karyawan, keinginan para karyawan untuk saling membantu menjadi lebih besar, melayani para nasabah dengan lebih baik, menurunkan tingkat stress sehingga karyawan menjadi lebih sehat.
Atasan yang baik menginspirasi para bawahan untuk sukses karena mereka menjadi role model yang dipanuti  dan mereka memberikan sumber daya yang dibutuhkan oleh para karyawannya. Menurut Linda Hill, professor Harvard Business School, dan co-author dua buku kepemimpinan, “Being The Boss” dan “Collective Genius” bos yang baik juga harus menguasai dua hal terlebih dahulu yaitu self-awareness dan kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan para pimpinan di unit bisnis lain dan atasannya dimana otoritas mereka dibutuhkan untuk kesempurnaan kerja para anggota timnya.
Menurut Jeanne Sahadi, dalam artikelnya di @CNNMoney berjudul What It Really Takes to be a Great Boss, terdapat 3 karakteristik bos baik (good boss) untuk menjadi bos yang besar (great boss). Ketiga karakteristik tersebut adalah:

1.    Selalu menghargai dan mengapresiasi para bawahannya
Atasan yang baik menghargai apa yang bawahan lakukan, keahlian, dan fakta bahwa setiap bawahan memiliki style masing-masing. Bos seperti ini selalu menghargai karyawannya dari hal-hal sederhana misalnya dengan ucapan terima kasih, menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan oleh bawahan dalam melaksanakan pekerjaan, sampai memberikan pujian secara terbuka atas pekerjaan bawahan, terbuka atas masukan dan input bawahan, dan menganggap para bawahan sebagai manusia bukan sebagai beban atau sumberdaya.

2.    Memberikan kepercayaan dan dukungan
Atasan yang baik selalu mempercayai bawahan untuk menyelesaikan tugasnya, percaya akan kemampuan tim, selalu mendorong kesuksesan tim, mendukung kinerja dan selalu ada apabila bawahan membutuhkan saran dan nasihat. Berdasarkan riset dari professor Wharton Management, Adam Grant, kepercayaan dan dukungan yang besar dari atasan akan berdampak terhadap terciptanya karyawan yang lebih bahagia, menjadi lebih merasa berarti, lebih senang membantu karyawan lain, dan menjadi lebih produktif.


3.    Berikan para karyawan dukungan dan sumberdaya yang mereka butuhkan untuk bekerja
Bos yang baik memberikan arah yang jelas, coaching dan struktur tetapi juga keleluasaan untuk membangun sense of ownership dalam diri para karyawannya. Ketika sesuatu salah, atasan ini tau secara pasti penyebabnya dan turut membantu karyawan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Menurut Kevin Daum dalam tulisannya di laman Inc. berjudul 10 Things Really Amazing Bosses Do, atasan yang luar biasa di mata karyawannya adalah atasan yang memberikan timnya waktu, sumberdaya dan strategi, untuk memecahkan masalah-masalah besar dengan gagasan-gagasan yang besar. Mereka juga selalu mengupayakan kebersamaan dan memberi ruang bagi para karyawan untuk selalu berpikir secara kreatif.

Perbedaan antara bos yang baik adalah bos yang buruk tidak pernah merasa bahwa mereka adalah bos yang buruk, sedangkan bos yang baik pernah memikirkan apa yang akan dipikirkan bawahan terhadap mereka. Bos yang baik merasa perlu melakukan apa yang harus mereka lakukan untuk membuat para karyawannya bahagia dan semuanya datang dari keikhlasan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kepercayaan, penghargaan, rasa aman, dan diberdayakan diantara para anggota timnya. Para bos yang baik ini memperlakukan karyawannya secara adil bukan berdasarkan faktor like atau dislike, berkomunikasi secara jelas, mendengarkan dengan baik, dan memberikan feedback yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh karyawan. Sebaliknya bos yang buruk selalu merasa bahwa mereka adalah bos yang baik sehingga para bawahan mengagumi apapun yang dia lakukan. Menurut Professor Stanford University, Bob Sutton, dalam bukunya Good Boss, Bad Boss, menulis “People in power tend to become self-centered and oblivious to what their followers need, do, and say”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Service SQ, Budaya Yang Memuaskan Karyawan

Apakah anda ingin merasakan layanan kamar kelas suite? Tentu saja semua orang ingin menikmati bagaimana rasanya menginap beberapa malam di kamar kelas suite yang dimiliki minimal oleh hotel-hotel berbintang lima atau kapal-kapal pesiar mewah. Kita pasti belum membayangkan bahwa fasilitas hotel berbintang saat ini bisa kita nikmati juga di atas pesawat terbang. Pada tahun 2008 Singapore Airlines telah memperkenalkan layanan The Suites, sebagai layanan udara termewah yang tersedia secara komersial. The Suites merupakan layanan eksklusif di armada Airbus A380 Singapore Airlines yang menerbangi rute Changi International Singapura menuju bandara internasional John F. Kennedy New York yang menawarkan kabin pribadi dengan pintu-pintu geser yang memungkinkan anda untuk menikmati privasi dan istirahat yang sangat nyaman selama perjalanan. Interiornya yang mewah dirancang oleh desainer Perancis bernama Jean-Jacques Coste yang dikenal sebagai perancang interior kapal yacht mewah. K...

Kepemimpinan Transformasional: Sebuah Gaya Kepemimpinan Yang Adaptif (Bagian 1)

Organisasi dimanapun butuh  kepemimpinan karena tanpa kepemimpinan  organisasi tidak akan berjalan dengan baik dan efektif.  Inilah sebabnya bila  kita berbicara organisasi maka kita juga harus membicarakan bagaimana kepemimpinan dalam organisasi. Di banyak literatu r  kepemimpinan organisasi (organizational leadership)   j ustru lebih banyak dibahas dibanding organisasi itu sendiri.    Terdapat beberapa versi kepemimpinan dan seringkali kepemimpinan dipersepsikan secara salah sebagai manajemen. Sederhananya, perbedaannya adalah apabila anda memimpin orang lain namun anda berjalan sendiri tanpa diikuti oleh satupun orang yang anda pimpin, itulah manajemen. Bedanya yang lain adalah manajemen adalah memimpin tanpa nilai (managing without value)  dimana seluruh proses manajerial berupa merencanakan, mengorganisasi dan mengoordinasi strategi untuk pencapaian tujuan organisasi, sedangkan tugas pemimpin adalah untuk menginspirasi dan memotiva...

Bahagia dan Kreativitas

Success is liking yourself, liking what you do, and liking how you do it Ungkapan diatas pernah diucapkan oleh Maya Angelou, seorang penulis terkemuka. Kesuksesan hanya bisa diraih apabila kita bahagia dalam bekerja, menyukai pekerjaan kita dan menyukai apapun yang berkaitan dengan pekerjaan kita termasuk perusahaan tempat kita bekerja, rekan kerja kita, atasan kita, nasabah atau debitur kita dan sebagainya. Kebahagiaan dalam bekerja menghasilkan interaksi yang lebih baik dengan rekan, atasan, nasabah serta produktivitas dan kinerja kerja yang terus meningkat. Kebahagiaan bekerja juga berdampak besar terhadap kondisi kesehatan kita sehingga kita tidak gampang stress dan sakit. Soal bonus yang kita peroleh tentunya sebanding dengan produktivitas kita. Ada lagi manfaat penting kebahagiaan kerja yaitu menumbuhkan inovasi dan kreativitas. Riset menyimpulkan bahwa kebahagiaan dan kreativitas adalah dua hal yang saling terkait. Karyawan yang bahagia akan lebih produktif dan kre...