Setiap hari kita berinteraksi dan
menggunakan produk dan layanan perusahaan-perusahaan BUMN. Di rumah kita
menggunakan listrik PLN. Sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor kita mampir
dulu ke SPBU milik Pertamina untuk mengisi bahan bakar yang menipis. Tidak bawa
uang tunai? Jangan kuatir. Pembayaran bisa dilakukan dengan menggunakan mesin Electonic
Data Capture (EDC) Bank Mandiri yang ada di SPBU tersebut. Sepanjang perjalanan
ke kantor, di kanan kiri jalan banyak berdiri dengan megahnya gedung-gedung
kantor cabang Bank BRI, BNI, dan BTN. Untuk perjalanan mudik dan libur lebaran
tinggal beli tiket pesawat Garuda secara daring di sebuah laman ternama. Wajar,
mengingat jumlah perusahaan pelat merah kita sangat banyak dan di semua sektor
bisa dibilang BUMN sebagai pemain utama. Memang BUMN kita belum maksimal dalam
menjalankan peran strategisnya sebagai agent
of development. Namun, upaya-upaya strategis dari pemerintah dan pihak pemangku
kepentingan terus dilakukan sehingga
BUMN kita sehat dan tangguh bersaing di tingkat ASEAN maupun secara global.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan
pelat merah dan harus menjadi perhatian utama dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015 ini adalah Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang handal sangat
penting agar perusahaan bisa tumbuh dan berkembang dan menjadi kontributor
utama bagi kesuksesan perusahaan. Terkait SDM yang handal ini, salah satu
kendala utama yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan BUMN di Indonesia adalah
sulitnya mempertahankan karyawan-karyawan yang handal. Di Indonesia, konsep
sumber keunggulan bersaing masih dipahami secara tradisional sehingga sebagian
besar perusahaan BUMN masih belum memiliki konsep pengelolaan SDM yang baik dan
efektif. PPM Manajemen menjelaskan bahwa konsep sumber keunggulan bersaing
merupakan keunggulan-keunggulan kompetitif yang mempunyai dampak yang
signifikan baik kepada industri secara keseluruhan, organisasi maupun
individu-individu, yaitu sumber daya finansial, sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan teknologi informasi.[1]
Untuk meningkatkan daya saing sebuah perusahaan, keempat sumber daya tersebut
harus dikelola dengan menggunakan logika baru yang bercirikan fleksibilitas,
pengelolaan organisasi secara lebih baik, memperbesar keterlibatan individu
(employee engagement), hubungan yang lebih lateral, dan kepemimpinan yang baik.
Namun sayangnya di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Perusahaan-perusahaan
BUMN umumnya masih menggunakan logika pengelolaan sumber daya yang lama yang
menyebabkan perusahaan-perusahaan sulit menggeliat dan tumbuh dan hanya mampu
menjadi raja di rumah sendiri. Akibat kurangnya fleksibilitas
perusahaan-perushaan BUMN jadi sulit bermanuver dan mempersiapkan SDM dan para
eksekutifnya untuk mampu bersaing secara global. Makanya, tidaklah mengherankan
apabila kemudiaan muncul wacana untuk memberi kesempatan kepada orang-orang
asing menjadi CEO di perusahaan-perusahaan BUMN. Hal tersebut tentu saja
mengundang pro dan kontra oleh beberapa kalangan. Wakil Ketua DPR, Fadli Zon,
berpendapat bahwa hal tersebut meremahkan bangsa Indonesia karena menurutnya
sangat banyak orang Indonesia yang berkelas dan mampu memimpin
perusahaan-perusahaan BUMN.[2] Dari
pihak yang pro diantaranya berpendapat bahwa warga negara asing boleh menjadi
CEO BUMN apabila ternyata tidak ada orang Indonesia yang bisa membawa
perusahaan-perusahaan BUMN untuk menjadi perusahaan kelas dunia dan bersaing
secara global. Menurut Ketua Umum KADIN Indonesia, Suryo Bambang Sulistyo
(SBS), perusahaan-perusahaan BUMN harus dipimpin oleh CEO-CEO kelas dunia
karena BUMN Indonesia saat ini dinilai kurang memiliki daya saing bahkan kalah
dari negara serumpun yaitu Malaysia.[3]
SBS mencontohkan perusahaan BUMN Malaysia yaitu Petronas yang bisa menjadi
perusahaan kelas dunia karena menerapkan konsep the best management you can get walaupun dinakhodai oleh duo orang
Malaysia sendiri yaitu Tan Sri Dato’ Shamsul Azhar Abbas sebagai CEO dan Tan
Sri Modh Sidek Hassan sebagai Chairman of the Board.[4]
Bahkan saat ini laba Petronas mencapai USD20 miliar jauh melebihi laba gabungan
138 perusahaan BUMN Indonesia yang hanya sebesar USD13,5 miliar.[5] Menurut
Tanri Abeng, Komisaris Utama Pertamina yang juga merupakan mantan Menteri BUMN,
pada tahun 2013 1 BUMN Malaysia saja yaitu Petronas mampu menyumbang
ke APBN Malaysia sebesar US$25 miliar atau sekitar Rp.300 triliun. Di tahun
yang sama sumbangan seluruh BUMN Indonesia ke APBN hanya sebesar US$10 miliar
atau setara Rp.120 triliun saja.[6]
Angka yang sangat kecil. Apabila dikaitkan dengan fungsi BUMN yaitu menciptakan
keuntungan sebesar-besarnya sehingga memberikan sumbangan yang besar bagi
perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan pada penerimaan negara pada
khususnya, fakta tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan BUMN belum
memberikan kontribusi yang maksimal.
Jumlah BUMN Indonesia sebanyak 143
perusahaan juga menjadi kendala dalam menciptakan BUMN kelas dunia. Sebenarnya,
sejak Kementerian BUMN terbentuk pada 1998, memiliki BUMN-BUMN kelas dunia
telah menjadi tekat dan visi dibentuknya kementerian ini. Sejak itu, berbagai master plan telah disusun sebagai roadmap untuk mencetak BUMN-BUMN kelas
dunia. Namun, kebijakan-kebijakan yang tercipta sebagai bagian dari master plan masih belum dapat mewujudkan
ambisi tersebut. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya memiliki 39 BUMN,
sedangkan negara jiran lainnya yaitu Singapura memiliki 35 BUMN yang dikelola
oleh perusahaan induk yaitu Temasek. Untuk urusan mengurangi jumlah BUMN yang
terlalu gemuk tersebut, Indonesia memang harus banyak belajar dari Singapura. Dalam
laman Liputan6.com, Thendra Crisnanda, seorang analis sekuritas, mengatakan
bahwa sudah saatnya perusahaan-perusahaan pelat merah digabung berdasarkan
keahlian-keahlian yang mereka tekuni. Tidak harus seperti Singapura dengan
Temasek Holdings-nya, melainkan nantinya BUMN Indonesia akan dibawahi holding-holding pertambangan,
telekomunikasi, perbankan, keuangan dan lain-lain.[7] Aset
35 BUMN Singapura yang dikelola oleh Temasek Holdings saat ini mencapai US$223
miliar atau sekitar Rp.2,073 triliun,[8]
sedangkan total aset 143 BUMN Indonesia sebesar Rp.4,500 triliun.[9] Dengan
jumlah aset sebesar itu, Temasek Holdings bisa memiliki kepemilikan saham di
beberapa perusahaan kelas dunia terkemuka seperti Repsol di Spanyol dan
Standard Chartered Bank, dan beberapa perusahaan Indonesia seperti Telkomsel,
Bank Danamon, dan DBS Indonesia. Karena memiliki jumlah aset yang lebih besar, sebenarnya
BUMN Indonesia memiliki potensi untuk melakukan hal tersebut. Namun, tantangan
kita adalah mengelola BUMN 100% persen secara profesional dan melepaskan diri
secara total dari kepentingan pemerintah alias birokrasi. Kita sering
menyaksikan CEO-CEO BUMN yang dicopot karena dipandang tidak sejalan dengan
kepentingan pemerintah. Bahkan, berdasarkan pengalaman Sunarsip, seorang
pengamat BUMN yang juga merupakan mantan staf ahli Menteri BUMN, dalam
rapat-rapat antara DPR RI dengan Pemerintah dan BUMN sering terjadi anggota DPR
terlalu mencampuri urusan kebijakan BUMN. Bahkan dalam beberapa kasus, DPR ikut
menentukan kebijakan dan keputusan internal BUMN. Intervensi pemerintah dan stakeholder lainnya yang terlalu dalam
tentu saja sangat menyulitkan BUMN kita untuk tumbuh dan bersaing secara
global.[10] Menurut
Mas Achmad Daniri, praktek intervensi yang berlebihan terhadap BUMN oleh kekuatan
politik dan birokrasi akan sangat berpengaruh terhadap efisiensi BUMN. Melihat
pengalaman BUMN Malaysia dan Singapura, Mas Achmad Daniri, yang merupakan
mantan Presdir Bursa Efek Jakarta (BEJ), mengatakan kedepannya perlu dibentuk
beberapa holding atau satu super holding yang berperan sebagai
pengelola korporasi (executing agency) sehingga Kementerian BUMN benar-benar hanya
berfungsi sebagai regulator
(non-executing agency).[11] Karena
saat ini belum terdapat super holding
seperti Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia, maka peran CEO sebagai top executing agency perlu independen
dan diberikan kewenangan mutlak untuk menyusun strategi untuk mengembangkan
perusahaannya. Hal inilah yang terjadi di Malaysia dan Singapura dimana
pemerintah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada BUMN-BUMN-nya untuk
melakukan aksi korporasi dan dikelola secara profesional seperti layaknya sebuah
perusahaan swasta tanpa adanya intervensi politik dan birokrasi. Hal ini
menyebabkan di Malaysia hampir tidak pernah terjadi riak-riak politik, tuduhan
ekonomi liberalis-sosialis, demo menolak kenaikan harga BBM, tuduhan menjual
aset negara kepada asing dan lain-lain akibat rakyatnya sudah sangat mafhum
bahwa semua harga atas produk yang ditetapkan oleh BUMN didasarkan kepada
hitung-hitungan korporasi, bukan ditentukan karena harga politik apalagi
penyesuaian harga yang didasari oleh kepentingan segelintir golongan yang ingin
menjadikan perusahaan BUMN sebagai sapi perah demi memperbesar pundi-pundi
kekayaannya.[12]
Untuk meningkatkan peran BUMN Indonesia
terutama di regional ASEAN, pemerintah sebenarnya telah lama mencanangkan
gagasan Super Holding Company (SHC) demi mewujudkan BUMN menjadi perusahaan
kelas dunia. Pada era kepemimpinan Presiden Habibie pada tahun 1999 adalah awal
gagasan pengelolaan BUMN dikelompokkan pada beberapa holding seperti holding jasa keuangan, holding infrastruktur, holding pertambangan dan lain-lain.[13]
Namun, sampai berakhirnya era pemerintahan SBY, baru 2 holding yang terbentuk
yaitu holding semen (PT Semen Indonesia), holding
pupuk (PT Pupuk Indonesia). Malaysia yang juga mencanangkan SHC pada saat yang
bersamaan dengan Indonesia, justru telah berhasil mendirikan 1 SHC yaitu
Khazanah Group Berhad yang mengomandani 10 subholding
company yang seluruhnya bersifat komersial. Total aset yang dikelola oleh
Khazanah Group sebesar US$41,6 miliar atau setara Rp.500 triliun. Bandingkan
dengan China yang memiliki super holding
BUMN bernama SASAC yang baru
terbentuk 4 tahun kemudian tepatnya di 2003 namun saat ini sudah mampu
menangguk laba sebesar US$150,4 miliar atau setara Rp.1,500 triliun lebih. Penyebab
masih belum terwujudnya strategi SHC sesuai master
plan selain karena masih tingginya intervensi stakeholder dalam penentuan kebijakan-kebijakan BUMN, juga karena
pengelolaan BUMN belum efisien. Inefisiensi merupakan musuh utama BUMN dan
harus dibasmi agar BUMN Indonesia bisa menjadi perusahaan berdaya saing global.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghasilkan data bahwa 14 perusahaan
pelat merah berpotensi merugikan negara sebesar Rp.3,15 triliun dan US$243,896
atau sekitar Rp.292 miliar lebih akibat inefisiensi dan pengelolaan perusahaan yang
tidak sesuai aturan. Inefisiensi pula
yang dituding sebagai penyebab belum membaiknya kinerja keuangan BUMN
penerbangan, PT Garuda Indonesia Tbk., yang masih mencatatkan rugi bersih tahun
2014 silam yang merugikan negara sebesar US$211,7 juta atau sekitar Rp.2,3
triliun padahal bisnis penerbangan semakin ramai seiring dengan pertumbuhan
industri pariwisata dalam dan luar negeri.[14] Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penumpang angkutan udara di 2014
mencapai 72,6 juta atau mengalami kenaikan sebesar 12,50 persen dari 2013. Saya
termasuk seseorang yang rutin menggunakan moda angkutan udara dan loyal dan
senang menggunakan maskapai Garuda. Walaupun harga tiketnya relatif lebih
mahal, saya yakin sebagian besar dari jumlah tersebut juga merupakan penumpang
setia maskapai Garuda. Secara hitung-hitungan bisnis, seharusnya PT Garuda
Indonesia Tbk. sudah menangguk untung dari kenaikan penumpang tersebut. Karena
adanya kerugian tersebut pemerintah sontak
mengganti CEO Garuda Indonesia yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian
perusahaan yang juga merupakan kerugian negara. Kejadian yang sama juga menimpa
beberapa mantan CEO Pertamina karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan
yang ditempuh oleh pemerintah. Intervensi pemerintah yang terlalu besar apalagi
dari kalangan partai yang mengangkat komisaris dari tim sukses atau partisan
partai politiknya menyebabkan BUMN Indonesia kurang lincah bergerak. Menurut
Said Didu, wacana SHC merupakan kiat yang paling ampuh untuk mewujudkan
konsolidasi seluruh perusahaan pelat merah tanah air.[15]
Melalui SHC, tata kelola yang baik (Good Corporate Governance) akan terwujud,
mekanisme pengawasan terhadap BUMN akan menjadi lebih baik, kualitas proses
seleksi, remunerasi setimpal berbasis kinerja, people management akan meningkat, dan melakukan benchmark dengan perusahaan yang sama. Mantan
Sekretaris BUMN ini menambahkan bahwa pembentukan SHC juga bertujuan untuk
memurnikan dasar hukum pengelolaan BUMN menjadi dasar hukum korporasi yang
selama ini masih abu-abu antara hukum korporasi atau hukum publik. SHC ini akan
dipimpin oleh CEO yang memiliki kewenangan setara menteri yang langsung dibawah
komando Presiden sehingga tidak akan ada intervensi.
Inefisiensi lebih disebabkan karena
ketidakprofesionalan CEO dan direksi BUMN dalam mengelola perusahaannya.
Apalagi BUMN telah lama dan masih merasa sampai sekarang sebagai anak emas
pemerintah sehingga walaupun mengalami kerugian tetap akan mendapat kucuran
modal dari pemerintah berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) yang jumlahnya tidak
sedikit. Berdasarkan hasil audit BPK selama 2014-2015, 37 BUMN dinyatakan tidak
sehat akibat ketidakefisienan, ketidakpatuhan, dan markup. Penyebab terbesar perusahaan-perusahaan BUMN tidak efisien
adalah kembali kepada praktek korupsi dan ketidakprofesionalan para pengelola
perusahaan BUMN tersebut. Kasus anak perusahaan Pertamina yaitu Petral mungkin
bisa sebagai contoh terbaru. Petral yang merupakan singkatan dari Pertamina
Energy Trading Limited sering dikaitkan dengan mafia minyak yaitu sekelompok
orang yang mengeruk keuntungan yang sangat besar bagi dirinya sendiri. Padahal,
sebagai anak perusahaan BUMN, Petral bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan
minyak rakyat Indonesia sebesar 1,5 juta barrel per hari karena Pertamina hanya
bisa memproduksi 1,3 juta barrel minyak per hari.[16] Pertamina
dikabarkan bisa menghemat sekitar Rp.250 miliar per hari akibat pembubaran
Petral. Alih-alih membantu induknya memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak
Indonesia, Petral malah menjadi duri dalam daging. Inefisiensi usaha diperparah
diperparah dengan korupsi yang marak dilakukan oleh para mafia migas membuat
Pertamina sulit berkembang dan bersaing di kancah internasional.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencetak
perusahaan kelas dunia. Salah satu BUMN besar yang berpotensi untuk bersaing
secara regional dan global adalah PT Pertamina (Persero). Selain melalui
pembubaran Petral dan pembentukan Integrated
Supply Chain (ISC) sebagai pelaksana ekspor impor minyak mentah dan produk
kilang, perusahaan juga dilaporkan memperoleh
laba yang cukup besar melalui strategi-strategi efisiensi antara lain melalui
pelaksanaan breakthrough project. Upaya
efisiensi, pembenahan tata kelola dan perbaikan manajemen supply chain tersebut mutlak dilakukan untuk membesar peran dan
kontribusi Pertamina sebagai agen pembangunan. Pertamina memang harus terus melakukan
terobosan-terobosan karena diharapkan mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan migas besar di dunia. Caranya menurut Tanri Abeng, adalah
melalui efisiensi yang tinggi, strategi
yang tepat, dan manajemen yang kuat.[17] Hal ini sejalan dengan pendapat Chartered
Global Management Accountant (CGMA) bahwa untuk menjadi kelas dunia perusahaan
harus berfokus pada beberapa prioritas:
· Strategi yang
secara efektif menghubungkan antara tindakan-tindakan dalam jangka pendek
dengan visi-visi jangka panjang.
· Kepemimpinan
biaya (cost leadership)
· Manajemen supply chain.
· SDM yang sangat
termotivasi dan ahli di bidangnya.
· Menarik dan
mempertahankan para pelanggan.
· Kemampuan
berinovasi.[18]
Bagaimana kiat menjadikan
perusahaan-perusahaan BUMN yang bisa bersaing di era MEA dan secara global
sebagai perusahaan kelas dunia berdasarkan prioritas diatas? Ada beberapa kiat
yang dapat dilakukan yaitu:
- Kewajiban CEO adalah menciptakan lebih
banyak pemimpin yang handal dan profesional sebagai pemimpin masa depan (future
leaders). Mengembangkan sumber daya manusia harus menjadi fokus perhatian
karena SDM merupakan pemimpin masa depan. Singkatnya, tugas utama CEO adalah
mengurus orang (people business). Mengapa mengembangkan SDM dan membangun
pemimpin adalah merupakan bisnis utama sebuah BUMN? Jasa dan produk antara BUMN
dan perusahaan swasta baik di dalam maupun luar adalah sama. Produk perbankan
yang ditawarkan oleh Bank Mandiri sama dengan Bank BRI dan BCA. Produk
Pertamina sama dengan produk yang disediakan oleh Petronas. Sebagian besar
perusahaan dalam negeri sudah mampu menyediakan produk sejenis yang diberikan
oleh perusahaan-perusahaan asing. Namun, yang sulit untuk ditiru adalah SDM
yang berkualitas. Inilah yang dikemukan
oleh Geoff Calvin bahwa,”your competition
can copy every advantage you’ve got - except one. That’s why the world’s best
companies are realizing that no matter what business they’re in, the real
business is building leaders.[19]
Untuk menjadi perusahaan kelas dunia, syarat utama dan mutlak adalah memiliki
pemimpin kelas dunia, BUMN harus memiliki CEO berkelas dunia pula. Agar
perusahaan BUMN tangguh, CEO-nya pun harus tangguh sehingga mampu menghadapi
segala bentuk intervensi, menghapus praktek korupsi dan memberantas mafia-mafia
yang mengancam perusahaannya dan menciptakaan kepuasan dan kebahagiaan kerja di
kalangan pegawai.
-
Perusahaan kelas dunia memperlakukan karyawannya
sebagai aset yang berharga. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Tom Peters dan
Bob Waterman terhadap 43 perusahaan top dalam daftar Fortune 500 yang menemukan
bahwa hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kekuatan utama ke-43 perusahaan
tersebut adalah bahwa mereka memperlakukan karyawan sebagai aset berharga
(valuable assets).[20]
Perusahaan-perusahaan BUMN yang ingin bersaing secara global harus dapat merumuskan
budaya yang kondusif dan kompetitif sehingga mendorong seluruh karyawan untuk
terlibat secara aktif memberikan kontribusi terhadap kesuksesan perusahaan
(employee involvement) dan meningkatkan kesetiaan karyawan (employee
engagement) karena akan berpengaruh terhadap peningkatan laba perusahaan.[21]
Hal senada pernah dikatakan oleh mantan CEO GE, Jack Welch, bahwa agar
perusahaan mampu berkompetisi, mereka harus merumuskan jalan agar kesetiaan
terpatri dalam pikiran seluruh karyawannya.[22] Sesuai
dengan laporan CGMA sebelumnya, SDM yang sangat termotivasi dan ahli di
bidangnya harus menjadi fokus prioritas agar mampu bersaing di kancah regional
dan global.
- CEO
BUMN harus menjadi role model yang
baik bagi para karyawan di perusahaannya. Mengapa sampai muncul gagasan
memperbolehkan orang asing memimpin BUMN? Mungkin bisa jadi karena orang-orang
kita yang menjadi pimpinan puncak di perusahaan-perusahaan BUMN masih belum
menunjukkan taji dan membuktikan diri sebagai eksekutif kelas dunia. Menurut
Jim Collins, CEO itu ibarat seorang supir bus. Bus tersebut sebagai perumpamaan
perusahaannya awalnya diam. Adalah tugas sang supir untuk menjalankan bus
tersebut. Supirlah yang memutuskan hendak dibawa kemana, bagaimana cara untuk
sampai ke tujuan, dan siapa saja penumpang yang boleh ikut serta. Supir yang
hebat bukan supir yang awalnya menentukan kemana arah yang akan dituju bus
tersebut, namun memilih penumpang-penumpang yang akan menemaninya sepanjang
perjalanan.[23]
Masih menurut Jim Collins, alasan supir bus tersebut menentukan siapa penumpang
yang akan dibawa serta disebabkan tiga hal. Pertama, menentukan penumpang dulu
akan memudahkan sang supir beradaptasi terhadap perubahan rute sebagai
perumpamaan dunia yang terus berkembang, kedua jika supir membawa serta orang-orang
hebat, dia tidak perlu repot-repot memotivasi mereka, dan ketiga jika anda
membawa serta penumpang yang salah, seberapa besar pun tujuan anda hasilnya
akan tetap biasa-biasa saja.
Semoga
BUMN kita bisa lebih maju dan menjadi perusahaan-perusahaan kelas dunia yang
disegani se-ASEAN dan secara global. Kata kuncinya adalah kelola SDM dengan
baik karena dengan SDM yang unggul dan kompetitif niscaya perusahaannya pun akan menjadi unggul dan kompetitif.
[2] “Terima CEO BUMN Asing, Fadli Zon: Menteri
BUMN Remehkan Orang Indonesia”, http://Fiscal.co.id,
tanggal 16 Desember 2014
[3] “KADIN Tak Permasalahkan Orang Asing Jadi CEO
BUMN”, http://Tribunnews.com, Edisi Sabtu
25 Juli 2015
[5] “Ternyata, Profit 138 BUMN RI Kalah Besar
Dibandingkan Petronas Malaysia”, http://Finansial.bisnis.com,
Edisi Sabtu 25 Juli 2015
[6] “Sindir BUMN RI, Tanri Abeng: Petronas
Sumbang Rp.300 T ke APBN Malaysia”, http://detikfinance.com,
Edisi Senin 16 Februari 2015
[10] “Strategi Pengelolaan BUMN di Masa
Mendatang”, Sunarsip, M.E. Ak., Minggu 27 Februari 2011
[12] “BUMN Malaysia Lebih Jago Ketimbang BUMN
Indonesia”, http://Medanbisnisdaily.com,
Edisi Jumat 29 Agustus 2014
[14] “Inefisiensi, 14 BUMN Berpotensi Rugikan
Negara Rp.3 Triliun”, http://Viva.co.id, Edisi Rabu 4 Februari 2015
[17] “Dewan Komisaris Diminta Kawal Pertamina Jadi
World Class Company”, http://Pertamina.com,
Tanggal 6 Mei 2015
[18] “Report on Building World-Class Businesses
For The Long-Term”, Chartered Global Management Accountant (CGMA), http://CGMA.org, Tanggal 10 Mei 2013
[20] “In Search of Excellence”, Tom Peters and
Bob Waterman, 1982
[22] “Without Employees You Have No Business”,
Kumar Dinesh, https://Linkedin.com, Tanggal
2 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar