Bicara
selera tentu setiap orang memiliki preferensi masing-masing, Antara satu dengan
yang lain selera bisa berbeda. Kalau saya ditanyai makanan favorit saya apa,
dengan yakin saya akan menyebutkan coto Makassar. Istri saya yang jelas-jelas tinggalnya
serumah dengan saya dan tiap malam tidur bersama ternyata malah tidak suka
makanan tersebut. Kalau dia hobi nonton film bertema drama percintaan semisal
AADC2, kalaupun saya terpaksa menemani istri nonton film itu dari awal film
tayang sampai selesai malah filmnya yang nonton saya tidur dengan pulasnya.
Demikian
juga cara pandang atau perilaku seseorang terhadap yang namanya risiko. Ada
yang berani mengambil risiko apapun konsekuensinya karena menganggap hal
tersebut sebagai tantangan. Ada pula yang berusaha menghindari risiko karena
menurutnya risiko berarti potensi kerugian. Ada orang yang senang melakukan
hal-hal yang ekstrem dan berisiko maut, ada juga yang tidak berani melakukan
hal-hal yang memacu adrenalin karena takut membahayakan dirinya sendiri.
Dalam
suatu perusahaan, para karyawan juga memiliki pandangan dan perilaku yang
berbeda terhadap risiko. Ada yang berani mengambil risiko yang seringkali tanpa
memikirkan konsekuensinya, ada yang menghindari risiko karena alasan takut
terjadi apa-apa. Bahkan sering diasosiasikan kalau para karyawan di unit bisnis
harus berani mengambil risiko demi mencapai target yang tidak kecil, sementara
para karyawan di bagian supporting, risk, atau business control justru harus
memperhatikan risiko sebagai bagian dari deskripsi pekerjaannya. Lha wong
mereka yang harus mengingatkan para karyawan untuk mengikuti SPO demi
menghindari terjadinya beberapa risiko yang bisa merugikan perusahaan.
Perbedaan selera atas risiko (risk appetite) ini harus dipahami secara baik dan
didefinisikan secara jelas karena bisa menjadi tool yang sangat bermanfaat
bukan hanya untuk mengelola risiko namun juga memperkuat kinerja bisnis secara
keseluruhan.
Sebenarnya
apa sih risk appetite? Menurut KPMG, risk appetite yaitu besar tingkat risiko
yang bersedia diambil oleh suatu organisasi demi mewujudkan tujuan-tujuan
strategisnya. Disini jelas risk appetite berupaya mengakomodasi perbedaan
perilaku risiko para karyawan. Kalau perilakunya terlampau menghindari risiko
yang justru menghambat pencapaian target bisnis, karyawan diharapkan jangan
terlalu woles dan diharapkan bisa mulai berani sedikit mengambil risiko yang
terukur. Sebaliknya, apabila karyawan berperilaku risiko yang terlampau agresif
yang bisa membahayakan kinerja kualitas unit yang dipimpinnya, mereka
diharapkan agar sedikit mengerem dan mulai sesekali melihat kaca spion agar
terhindar dari risiko yang merugikan.
Risiko
dan bisnis memang seharusnya jadi dua hal yang tidak perlu dipertentangkan.
Selama setahun sebagai Credit Quality Officer (CQO) tiga Cluster Mikro di tiga
kota yang berbeda, salah satu biang yang sering disampaikan oleh para kepala
Cabang/Unit menjadi penyebab temuan-temuan adalah target booking yang tidak
kecil dan terus bertambah tahun demi tahun. Hal itu yang menyebabkan mereka
jadi mengabaikan beberapa risiko yang menyebabkan pemburukan kualitas
portfolio. Pencapaian bisnis menjadi anak emas dan di sisi lain monitoring
terhadap kualitas kredit jadi terabaikan. Atau sebaliknya, beberapa unit yang
memiliki kualitas portfolio kredit yang relatif terjaga namun dari sisi
pencapaian target booking sangat kecil. Menurut Ernst and Young (EY) mengawali
laporan hasil survey manajemen risiko terhadap beberapa institusi keuangan
utama dunia. Dalam rilis laporan yang bertajuk Shifting Focus Risk Culture At
The Forefront Of Banking di 2014 memang ditemukan fakta bahwa sebagian besar
pimpinan unit di institusi-institusi ternama tersebut mengabaikan pertimbangan
risiko demi pencapaian target bisnis yang besar. Bahkan temuan atau masukan
dari unit risk hanya dianggap sebagai angin lalu. Saat ini hal tersebut tidak
boleh terjadi. Kinerja para manajer ke depannya akan memperhitungkan kualitas
portfolio kelolaannya yang tentu saja sebagai hasil dari melaksanakan
mitigasi-mitigasi risiko sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam menjalankan
bisnis dan operasional para manajer diharapkan melihat melalui jendela yang
lebih lebar dan sudut pandang helicopter (helicopter view) dibanding kacamata
kuda.
Untuk
mengakomodasi perbedaan risk appetite diantara para karyawan perusahaan
kemudian menyusun budaya risiko (risk culture). Budaya risiko adalah beberapa
inisiatif yang diterapkan oleh perusahaan untuk mengelola dan memonitor secara
efektif perilaku risiko seluruh karyawan. Masih dalam laporan survey EY
tersebut diatas yang dilaksanakan dari Januari 2014 sampai dengan April 2014,
saat ini telah terjadi beberapa perubahan fundamental dalam industri keuangan
sebagai upaya mengantisipasi berulangnya krisis keuangan global yang pernah
terjadi. Beberapa perubahan tersebut yaitu:
1. Focus yang lebih
tajam terhadap budaya dan code of conduct
Saat
ini sebagian besar institusi keuangan telah bergerak menuju fase memperbaiki
dan memperkuat budaya. Salah satu langkah fundamental yang dilakukan adalah
dengan memperkuat akuntabilitas terhadap risiko terutama di unit front office
yang selama ini cenderung mengabaikan pertimbangan risiko. Penilaian kinerja
unit juga akan tergantung kepada bagaimana para karyawan mempraktekkan
akuntabilitas risiko tersebut bukan semata terhadap pencapaian target bisnis.
2. Struktur manajemen
risiko (risk governance) lebih diperkuat
Salah
satu aspek yang penting dalam memperkuat budaya risiko adalah rerangka
manajemen risik (risk governance frameworks). Hal ini untuk mengantisipasi
semakin ketatnya pengawasan dan tekanan bukan hanya dari pihak regulator maupun
dari stakeholder, namun akibat kemajuan teknologi sehingga publik memiliki
lebih banyak pilihan media untuk menyampaikan keluhan yang bisa berakibat
tuntutan hukum maupun merusak reputasi perusahaan. Institusi finansial
melakukan penguatan struktur diantaranya dengan menambah komite baru setingkat
direksi yang melakukan pengawasan secara lebih ketat terhadap pelaksanaan etika
bisnis dan code of conduct. Selain itu tiga lini pertahanan (three lines of
defense) untuk menjaga melakukan review kualitas akuisisi bisnis, kepatuhan
terhadap ketentuan (compliance with regulations), dan kualitas pengawasan atau
monitoring juga semakin diperkuat. Peran unit risk diperbesar sebagai unit yang
menjalankan tiga lini pertahanan risiko
tersebut.
3. Perhatian yang lebih
besar terhadap risiko non finansial
Sebagian
besar institusi finansial yang disurvey mengakui bahwa krisis yang terjadi
dimasa lalu atau beberapa kejadian akibat tuntutan hukum atau fraud yang
mengakibatkan kerugian operasional yang tidak sedikit karena lemahnya proses
pengawasan. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk mengkaji kembali kebijakan pengawasan secara
internal dan memastikan bahwa akuntabilitas risiko dijalankan dari unit front
office. Selain itu dilakukan mekanisme pelaporan yang memungkinkan informasi
tentang beberapa indikasi penyimpangan dapat segera disampaikan diantaranya
melalui mekanisme message to CEO dan lain-lain. Perusahaan percaya apabila
risiko dapat dikelola secara efektif akan meningkatkan reputasi perusahaan dan meningkatkan reward berupa
pencapaian target bisnis (risk is reputation and reward).
Risiko
memang hal yang tidak bisa dihindari dalam aktivitas keseharian kita, Bahkan
Richard Branson, CEO Virgin Group mengakui bahwa karena keberaniannya mengambil
risikolah yang menyebabkan dia seperti saat ini. Menurutnya, risiko boleh
diambil sepanjang itu untuk tujuan baik dan bisa memperbaiki kehidupan. Bahkan
di salah satu perilaku utama kita disebutkan bahwa kita harus berani mengambil
keputusan dengan risiko yang terukur. Bukan melakukan risiko tanpa pertimbangan
matang atau tidak mengambil risiko karena takut mengalami kerugian. Percayalah,
risiko yang terukur berpeluang menikmati reward yang jauh lebih besar dibanding
terlalu menghindari risiko. Itu pasti!!
Komentar
Posting Komentar