Pernah
memiliki telepon genggam merek Nokia? Bagi yang memiliki handphone di tahun
90-an sampai awal 2000-an pasti membeli handphone bermerek ini. Di era-era
tersebut memang Nokia merajai pasar telepon genggam dan tidak ada satupun perusahaan
lain yang bisa menandingi dominasinya.
Perkenankan
saya sedikit bercerita mengenai pengalaman berkesan sebagai salah satu pengguna
telepon genggam Nokia. Handphone
Nokia awal saya adalah Nokia 6600 yang saat itu sedang ngehits persis setahun setelah saya pindah kerja di Bank Mandiri di
2002. Betapa bangganya saya waktu itu bisa membeli handphone baru dengan seri yang belum banyak dimiliki banyak orang.
Enam tahun kemudian saya mengganti hape
dengan merek Nokia seri E71 yang waktu itu cukup kekinian. Saat itu sebelum
membeli handphone Nokia saya sempat bingung memilih diantara beberapa pilihan
produk smartphone lainnya yaitu
Blackberry, iPhone dan Samsung.
Pada
September 2013 Nokia diakuisi oleh Microsoft. Akuisisi tersebut merupakan salah
satu akuisisi terbesar dalam sejarah yang menandai berakhirnya kisah Nokia
sebagai sang mantan penguasa dan Nokia sebagai sebuah perusahaan raksasa resmi
tutup usia. Nokia yang pernah memiliki kapitalisasi pasar melampaui US$269
miliar akhirnya diambilalih oleh Microsoft senilai hanya US$7,2 miliar. Wajar
jika akhirnya CEO Nokia waktu itu, Stephen Elop, mengakhiri pidato akuisisinya dengan
mengatakan bahwa Nokia tidak melakukan kesalahan apapun namun pada akhirnya tetap
kalah.
Jajaran
manajemen Nokia mungkin tidak menyadari kesalahan mereka dan sangat puas dengan
posisi mereka sebagai penguasa pasar, namun ada satu kesalahan besar yang
mereka lakukan yang juga dilakukan oleh beberapa perusahaan raksasa yang sudah
almarhum yaitu mereka tidak segera merespon perubahan.
Untuk
kasus Nokia justru lebih mengenaskan lagi mengingat sejarah panjang perusahaan
sebagai perusahaan yang tumbuh karena inovasi dan cepat merespon perubahan.
Awalnya, Nokia merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan kayu
yang didirikan pada 1865 oleh Fredrik Idestam di Finlandia. Pada 1984, Nokia meluncurkan Mobira Talkman
sebagai telepon yang dapat dipindahkan pertama. Pada 1987, Nokia memperkenalkan
Mobira Cityman 900 sebagai telepon mobile pertama di dunia. Pada 1991, Nokia
sebagai pelopor teknologi GSM 2G dan meluncurkan Nokia 1011 sebagai handphone
pertama di dunia. Pada 1993, diluncurkan Nokia seri 2100 sebagai handphone pertama yang menggunakan ringtone. Nokia 9900 Communicator
diperkenalkan pada 1996 sebagai handphone
multifungsi pertama di dunia yang memungkinkan penggunanya untuk mengirimkan
email, fax, dan melakukan penjelajahan di dunia maya. Seri 6100, sebagai produksi terlaris Nokia
diluncurkan pada 1997 dan telah terjual hampir 41 juta unit di seluruh dunia
pada 1998. Kesuksesan penjualan seri 6100 tidak membuat Nokia terbuai karena
pada 1998 Nokia muncul dengan inovasi terbaru yaitu handphone pertama tanpa antena pada seri 8810. Pada 1999
diperkenalkan Nokia 3210 sebagai handphone
pertama dengan enam pilihan warna handset
dan pengiriman pesan berupa gambar (picture messages) melalui SMS. Sampai 1999
tersebut total penjualan handphone
Nokia di seluruh dunia mencapai 160 juta unit dan menjadikan Nokia sebagai
perusahaan paling popular dan sukses dalam industri ini.
Sebagai
perusahaan yang cepat merespon perubahan, Nokia membuktikan dengan meluncurkan
Nokia 6650 sebagai handphone 3G
pertama di dunia pada 2002. Di tahun tersebut bahkan Nokia bisa memperkenalkan
Nokia 3650 sebagai handphone pertama
yang menggunakan sistem operasi Symbian dan fitur video recorder. Salah satu pencapaian fenomenal lainnya adalah saat
perusahaan meluncurkan Nokia 1100 pada 2003 yang mencatat rekor penjualan di
seluruh dunia sebesar 250 juta unit! Akibatnya, sampai 2005 total penjualan
seluruh merek handphone Nokia telah melebihi 1 miliar unit. Sungguh merupakan
angka yang sangat fantastis. Namun tanda-tanda kehancuran mulai muncul
diantaranya ditandai dengan penurunan profit dan pangsa pasar Nokia yang
menjadi tinggal 35 persen saja.
Mungkin
apa yang diucapkan oleh Stephen Elop adalah benar namun dunia ternyata berubah
lebih cepat. Nokia tidak belajar dari kisah sukses mereka di masa lalu dan dari
perubahan yang sedang terjadi, tidak mau berubah dan beradaptasi terhadap
perubahan tersebut sehingga akhirnya
kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup dan terus tumbuh. Sejarah juga telah
mengajarkan bahwa apabila kita tidak berubah seiring waktu niscaya lambat laun
perusahaan kita akan ditinggalkan dan akhirnya akan mati. Menurut Peter H.
Diamandis dan Steven Kotler dalam bukunya berjudul Bold: How to Go Big, Create
Wealth and Impact the World bahwa akan kembali terjadi hantaman asteroid yang
akhirnya akan memusnahkan beberapa dinosaurus-dinosaurus raksasa seperti pada
masa Crustacean sekitar 650 miliar tahun lampau. Asteroid kali ini berupa
perkembangan teknologi sedangkan dinosaurus yang punah untuk mengibaratkan
beberapa perusahaan-perusahaan raksasa yang sekarang tinggal nama seperti
Nokia. Fenomenanya sudah tampak jelas di depan mata namun karena keengganan
untuk berubah sehingga perusahaan-perusahaan raksasa tersebut akhirnya punah
begitu saja. Fenomena ini dikenal sebagai technological
disruption atau gangguan teknologi. Caroline Howard dalam laman jurnal daring Forbes.com pernah menulis bahwa
untuk bisa bertahan di era yang penuh kekacauan seperti saat ini tidak cukup
melalui inovasi semata melainkan suatu perusahaan juga harus menjadi pengganggu
(disruptor). Contoh perusahaan yang bisa menjadi keduanya yaitu Apple. Keberhasilan
produk iPhone disebabkan karena kejelian Steve Jobs melihat bahwa ada peluang
memanfaatkan handphone tidak hanya
sebagai alat komunikasi semata namun sebagai media hiburan karena penggunanya
bisa mengakses musik, aplikasi dan konten hiburan lainnya. Bahkan, kabarnya
Apple sedang mengembangkan mobil Apple dan menjadi disruptor di industri mobil listrik yang saat ini dikuasai oleh
Tesla milik Elon Musk.
Saat
ini tidak ada satupun industri yang bisa lolos dari gempuran asteroid-asteroid
tersebut termasuk industri perbankan. Bill Gates pernah menyampaikan bahwa data
menunjukkan sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap
rekening bank dan layanan keuangan lainnya sementara pada 2017 jumlah pemakai handphone diperkirakan mencapai 4,77
miliar maka ini merupakan potensi besar untuk inovasi teknologi terutama digital banking. Menurutnya, transaksi
perbankan bisa dilakukan walaupun tanpa melalui bank (banking is necessary,
banks are not). Kehadiran digital banking
atau yang dikenal sebagai Financial Technology (disingkat Fintech) memaksa
industri perbankan untuk segera berubah. Menurut
McKinsey&Company, pemanfaatan digital
banking akan meningkatkan laba sebesar 30% dan menurunkan biaya sebesar 20
sampai dengan 25 persen. Sehingga sangat beralasan jika dikatakan bahwa
transformasi layanan tradisional menjadi layanan digital adalah pilihan antara
hidup atau mati. Namun, untuk menjadi sebuah digital bank tidaklah mudah. Penyebabnya menurut Chris Skinner
dalam bukunya Digital Bank-Strategies to Launch or Become A Digital Bank adalah
karena organisasi bank-bank tradisional yang masih berkutat terhadap
pengembangan jaringan cabang dibanding fokus kepada platform elektronik dan data sebagai core business. Bank-bank harus mulai mempertimbangkan penutupan
jaringan kantor cabangnya dan berpindah ke electronic
channels dimana transaksi keuangan jadi lebih murah dan dapat diakses oleh
lebih banyak nasabah. Pertimbangan lainnya sehingga bank harus segera
terdigitalisasi adalah karena saat ini mayoritas populasi penduduk dunia adalah
digital natives yang tumbuh dengan
PC, tablet, handphone maupun smartphone sedangkan generasi-generasi
yang lebih senior merupakan digital
immigrants yang memang masih lebih memilih untuk bertransaksi melalui
jaringan kantor cabang bank. Dari tahun ke tahun jumlah populasi digital natives ini semakin meningkat
dan berpengaruh terhadap perubahan perilaku konsumen.
Terdapat
beberapa studi yang menunjukkan telah terjadi perubahan signifikan pada
perilaku konsumen yang dipengaruhi oleh meningkatnya populasi digital natives tersebut. Menurut studi
yang dilakukan oleh Millward Brown Indonesia pada Maret 2016, rata-rata
konsumen di Indonesia menghabiskan 540 menit per hari (atau hampir 10 jam per
hari) untuk mengakses perangkat digital mereka. Akibatnya, saat ini lebih 50% pengguna
smartphone melakukan transaksi atau
pembelian melalui perangkatnya. Studi yang dilakukan oleh MasterCard juga
menunjukkan hasil yang hampir sama bahwa semakin banyak konsumen yang memilih
untuk membeli barang secara online
dan semakin banyak yang menggunakan smartphone
mereka untuk melakukannya. Sekitar 45 persen dari belanja online tersebut menggunakan aplikasi mobile banking. Studi Ericsson Consumer Lab terhadap beberapa
responden pengguna smartphone yang
berusia antara 15 sampai dengan 69 tahun, 48 persen pengguna mengaku bahwa
mereka memilih melakukan transaksi pembayaran melalui smartphone mereka dibandingkan secara tunai baik untuk barang
maupun jasa.
Transformasi
layanan menjadi digital banking
memang merupakan pilihan yang masuk akal yang harus dilakukan industri
perbankan agar tidak menjadi korban dari financial
disruption. Menurut Robert Schiff dan Paul Breloff dalam laman American
Banker, kombinasi kekuatan antara perusahaan teknologi dengan industri
perbankan akan berpotensi mentransformasi layanan-layanan keuangan sedemikian
rupa sehingga berdampak secara massif bagi para nasabah.
Urusan
melakukan transformasi untuk bisa bertahan hidup bank sudah terbukti jagoan. Bank
lahir sekitar tahun 2000 SM. Inovasi layanan keuangan seperti mesin ATM dan
otomatisasi transaksi mulai muncul di tahun 1960-an setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Sistem pembayaran secara elektronik baik secara domestik maupun
internasional sudah diperkenalkan pada tahun 1970-an. Saat ini tren perbankan
sudah mengarah kepada branchless bank sebagai bagian dari digitalisasi
dan inklusi layanan perbankan. Ada satu kelebihan bank yang tidak dimiliki oleh
perusahaan Fintech lainnya yaitu keamanan karena dari sisi regulasi bank
dihadapkan pada sejumlah aturan yang cukup ketat yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia dan dibawah pengawasan OJK. Apalagi tren digital banking juga akan dibarengi dengan meningkatnya fraud akibat kejahatan digital seperti
tindakan pencurian data nasabah, phishing,
smishing, mobile frauds, malware, email fraudulent dan digital
frauds yang semakin canggih. Para nasabah tentu lebih mengedepankan
keamanan dalam bertransaksi dan regulasi yang mengatur layanan keuangan digital
diharapkan bisa menjamin hal tersebut. Kesimpulannya, banking and banks are both necessary!
Ambon,
8 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar