Jujur saya
akui saya takut ketinggian. Apapun aktivitas yang mengharuskan saya naik sampai
ketinggian tertentu akan membuat perasaan saya cenat cenut. Kalau bukan karena ‘terpaksa’,
saya tidak bakal melakukannya.
"Fear is an emotion induced by a perceived threat that causes specific bahaviors of escape and avoidance, whereas anxiety is the result of threats which are perceived to be uncontrollable or unavoidable" by Ohman, A
Saya pasti merinding saat akan
melakukan penerbangan dengan menggunakan pesawat. Saat menunggu saatnya boarding, tubuh saya bermandikan peluh.
Bukan karena kepanasan karena ruangan tunggu di semua bandara tersebut sudah
dipasangi air conditioner. Bahkan
sebelum menuju bandara berkali-kali saya ke kamar kecil dulu. Ini selalu
terjadi saat saya akan melakukan penerbangan. Ketakutan ini sudah terjadi sejak
saya masih kecil. Saya tidak tahu apa yang menyebabkannya. Ada beberapa momen
yang tidak akan saya lupakan berkaitan dengan ketakutan ini.
Pengalaman terbang untuk pertama
kali terjadi sekitar sepuluh tahun yang lampau. Kalau sebelumnya saya bisa menolak
dengan berbagai alasan jika diajak bepergian ke suatu tempat dengan alternatif moda
transportasi yang tersedia hanya pesawat terbang, kali ini saya tidak kuasa
menolaknya. Pasalnya, perjalanan kali ini dengan tujuan ke Surabaya adalah
perjalanan dinas sehingga saya wajib mengikutinya. Saya sampai cemas
berhari-hari sebelum hari H keberangkatan dan sempat berpikir untuk keluar saja
dari pekerjaan saya padahal belum setahun saya bekerja. Akhirnya, dibutuhkan
keberanian yang menurut saya luar biasa dahsyat bagi saya untuk bias sampai di
bandara ini dan dengan perasaan kecemasan tingkat tinggi begitu saya menaiki
tangga pesawat. Senyum manis para pramugari menyapa para penumpang tetap tidak
mampu mengusir jauh-jauh kecemasan saya. Bahkan saat itu di pikiran saya mereka
seolah menertawai saya dan bilang,” hari gini masih takut terbang hahahaha”.
Itu dulu. Sekarang sih masih hehehe. Tapi, semakin berkurang seiring semakin
seringnya saya bepergian menggunakan pesawat terbang. Sebelum kembali bertugas
di Makassar, saya ditugaskan di daerah Papua selama hamper empat tahun. Dan
selama itu untuk tujuan training,
cuti, detasering kemana-mana tidak
ada alternatif lain selain menggunakan pesawat terbang. Bahkan saya pernah mengalami penerbangan yang
lumayan bikin jantung saya naik turun jumpalitan seperti roller coaster yaitu saat saya bertugas di Kabupaten Kaimana, Papua
Barat. Saat itu saya menumpangi pesawat berukuran kecil berkapasitas hanya
beberapa orang. Pesawat transit di bandara Torea Fak-fak yang berada di atas bukit
dengan ketinggian 141 meter di atas permukaan laut dengan panjang landasan pacu
tidak sampai hanya 1,2 km, ujung kirinya bukit dengan batu karang yang kokoh,
sebelah kanan dan di ujung landasan jurang. Pilot harus langsung mengerem
pesawat begitu roda ban pesawat menginjak landasan. Begitu melihat bandaranya
dari jatuh, jantung saya yang dari awal menaikin pesawat sudah berdegup kencang
semakin kencang memompakan keringat yang semakin deras mengucur. Tiada hentinya
doa terucap memohon maaf atas segala khilaf dan dosa yang selama ini saya
perbuat. Beruntung, pesawat expressair yang membawa kami mendarat dengan sukses
dan membuyarkan semua kengerian yang terbayang di pikiranku.
A da peristiwa lain
lagi yang sempat sangat menguji nyaliku yaitu pada saat saya menaiki wahana
torpedo dan tornado di Dufan untuk kali pertama. Selama ini hanya nonton di
teve dan mendengarkan cerita teman betapa seru dan menegangkannya bermain di
kedua wahana tersebut. Waktu itu saya sempat tinggal beberapa bulan di Jakarta
dan menikmati sepuas mungkin semua tempat rekreasi dan hiburan yang ada di
sana. Tiba di suatu hari minggu teman-teman berwisata ke Dufan. Salah saya
karena telah sesumbar bahwa sudah berkali-kali saya ke dufan dan sudah
menaklukkan semua wahana termasuk wahana paling ekstrem di sana. Kalau saya
sampai menolak bisa-bisa mereka curiga saya cuman
omdo alias omong doang. Bisa tengsin saya diperolok teman. Makanya
dengan membusungkan dada dan menegakkan kepala saya menerima ajakan mereka.
Dan, detakkan jantung yang semakin kencang dan banjir keringat kembali saya
alami. Semakin dekat menaiki wahana semakin kencang degup jantungku berdetak. Saya
tidak menunjukkan ke teman-teman perasaan ngeri saya, malah saya terus tertawa-tawa pura-pura senang melihat mimic ketakutan
orang lain padahal saya justru lebih takut dari mereka. Kengerian diatas wahana
tidak berlangsung lama, namun bagiku ibarat masa penyiksaan berabad-abad
lamanya.
P erasaan
takut ketinggian itu masih saya alami meskipun sudah tidak sebesar sebelumnya.
Saya tetap merasa ngeri naik pesawat mulai dari saat-saat sebelum ke bandara
apalagi menjelang pesawat take off.
Apalagi belum lama pesawat yang saya tumpangi pernah sempat mengalami
turbulensi parah yang sampai memuakkan perut saya. Mau bagaimana lagi saya
hanya bisa pake pesawat terbang untuk sampai ke sana. Untuk tidak terlalu
tegang saya pilih naik pesawat Garuda yang menurut saya lebih safe dibanding pesawat maskapai
penerbangan yang lain. Entah kenapa kalau naik Garuda perasaan saya lebih
merasa tenang dan bahkan saya bisa tidur di atas pesawat sampai pesawat
mendarat di tujuan. Kalau naik pesawat lain boro-boro
tidur, nyari posisi enak saja
susahnya minta ampun. Bahkan pernah saya sampai kecele sendiri. Saya piker ac-nya tidak nyala karena saya keringatan terus, ternyata ac-nya tidak masalah
sayanya saja yang saking nervous-nya
sampai tidak henti berkeringat.
"Aeropobhia or fear of flying is a fear of being on an airplane (aeroplane) or other flying vehicles, such as a helicopter, while in flight" - by Wikipedia
M ungkin
benar yang dikatakan seorang penulis novel asal Inggris, Joseph Conrad yang
bilang bahwa kendaraan apapun termasuk pesawat terbang sebenarnya juga memiliki
spirit dan karakter, dan norma-norma berperilaku sehingga mereka bisa sopan
atau memberontak tergantung bagaimana perlakuan yang mereka terima dari pilot
dan para flight crew lainnya. Jadi, meskipun cuaca sedang tidak bagus
karena hujan atau cuaca buruk lainnya apabila pilot yang menerbangkannya
memperlakukan pesawat dengan baik dan tentunya dengan skill yang baik pula, pesawat akan terbang dan mendarat di tujuan
dengan selamat. Dapat juga meskipun cuaca cerah tetapi pesawat mengalami
kecelakaan karena perlakuan sang pilot yang ‘tidak pantas’ terhadap pesawatnya.
Musibah kecelakaan pesawat super jet Sukhoi bisa menjadi contoh bagaimana ‘kecerobohan’
crew pesawat bisa mengakibatkan pesawat
terbaru dengan teknologi canggih seperti itu bisa mengalami musibah yang
mengakibatkan tewasnya puluhan orang tersebut. Makanya para pilot yang
kedapatan mengonsumsi narkoba maupun kecanduan miras harus ditindak tegas
karena kebiasaannya bisa berakibat fatal bagi para penumpang pesawatnya.
Komentar
Posting Komentar