Akhir-akhir ini banyak tokoh maupun pejabat yang tindak-tanduknya 180 derajat beda dari sebagian besar tokoh atau pejabat lainnya. Kalau pejabat pada umumnya lebih senang "tinggal" di kantornya yang mewah, ber-AC, dan tinggal menerima laporan bawahannya lalu menginstruksikan mereka untuk bertindak, pejabat-pejabat ini malah lebih senang langsung terjun ke lapangan melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya. Kalau asal terima laporan saja, biasanya bawahan melaporkan bahwa semua program telah dilaksanakan sesuai dan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Semua yang dilaporkannya laporan dewa, baik-baik saja padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Ada Jokowi, mantan walikota Solo yang baru saja terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di masa-masa awal jabatannya dia langsung melakukan gebrakan dengan mem-blusuk atau melakukan kunjungan dan wawancara dengan warga di daerah-daerah kumuh untuk melihat secara langsung kondisi mereka dan mengumpulkan informasi permasalahan yang mereka hadapi. Permasalahan kronis Kota Jakarta seperti kemacetan diatasi dengan wacana MRT dan rencana penerapan nomor plat mobil ganjil genap. Masalah daerah-daerah kumuh diatasi dengan pembenahan rumah susun buat warga miskin dan pembangunan kampung deret, dan terakhir Jokowi memberi contoh dengan pelantikan walikota Jakarta Timur di tengah-tengah pemukiman warga yang tidak jauh tempat pembuangan akhir sampah.
Dari kalangan menteri menarik mencermati sepak terjang Dahlan Iskan, menteri BUMN yang mantan dirut PLN dan pemilik kelompok Jawa Pos. Sering kali kita jadi "geleng-geleng kepala" melihat aksi Dahlan yang jauh dari tindakan yang lazimnya dilakukan oleh seorang menteri di negara ini. Pernah untuk menghindari kemacetan ke kantor atau untuk menghadiri rapat dengan menteri-menteri lain, dia memlih naik ojek ke kantornya. Dahlan pernah marah-marah di gerbang tol karena pelayanan petugas tol yang menurutnya tidak profesional. Pernah dia ikut membersihkan toilet salah satu bandara sebagai wujud kepeduliannya terhadap kebersihan sarpras di bandara, dan terakhir dia menggagas proyek mobil elektrik nasional dengan mengemudikan langsung mobil Tucuxi, sebuah mobil mewah berbahan bakar listrik buatan anak bangsa sendiri.
Kalau mantan pejabat siapa tidak kenal Pak Jusuf Kalla, mantan wapres, ketua PMI, dan seorang pengusaha terkemuka dari Makassar. Pada saat dia menjadi wapres dan sampai sekarang pun, dia tidak hanya bisa berwacana tetapi langsung ditunjukkan dengan tindakan nyata. Jargonnya pada saat pencapresannya yaitu lebih cepat lebih baik sangat tepat untuk menggambarkan keseharian Pak JK.
Tidak sedikit yang apatis dengan gebrakan tokoh-tokoh dan menganggap tindakan mereka tidak lebih sebagai pencitraan belaka. Apalagi kalau tokohnya termasuk salah satu tokoh yang digadang-gadang sebagai capres 2014 maka aksi mereka dituding sebagai upaya untuk mendongkrak tingkat elektabilitasnya.
Pencitraan ini adalah istilah berkonotasi negatif yaitu istilah yang kerap digunakan apalagi menjelang pemilihan umum dan pilkada untuk menggambarkan seorang tokoh atau politisi yang tiba-tiba banyak berbuat amal dan membantu masyarakat terutama masyarakat miskin. Tentu tindakannya tersebut bukan didasari keikhlasan tetapi semata publisitas. Tujuan pencitraan ini untuk membentuk opini publik sesuai harapan politisi tersebut. Money politics selain bagi-bagi uang juga dalam bentuk pencitraan 360 derajat. Semua model media dari media social seperti bb, fb, twitter sampai media-media cetak maupun media massa lainnya sering dimanfaatkan sebagai alat pencitraan. Semakin banyak uang politisinya semakin banyak media yang bisa dia manfaatkan tentu dengan bantuan tim sukses atau lembaga survei. Contoh pencitraan yang sangat sukses bisa kita pada sosok Margareth Thatcher, mantan PM Inggris yang dijuluki wanita besi. Di sebuah film yang baru dirilis tahun ini berjudul The Iron digambarkan bagaimana Margareth Thatcher belajar dari seorang guru vokal agar gaya bicaranya terdengar lebih lugas dan tegas. Di film King George kita bisa lihat bagaimana Raja Inggris Raya, King George, yang dikenal suka demam panggung di depan khalayak belajar untuk menghilangkan kegugupannya tersebut dengan bimbingan temannya, seorang guru dari Australia. Jadi pencitraan sendiri bisa secara eksplisit maupun implisit, secara lisan maupun tulisan. Bisa dengan merubah atau memperbaiki penampilan atau aspek-aspek pendukung yang masih kurang seperti contoh Margareth Thatcher tadi, atau melalui "tindakan-tindakan sandiwara" seperti yang kerap dilakukan politisi yang opportunistik atau selebriti yang mendadak nyabup, nyagub, atau bahkan nyapres.
Kalau masalah murni datangnya dari hati atau sekedar pencitraan, sebenarnya kita bisa membedakan. Kita punya yang namanya hati yang bisa sebagai detector yang membedakan antara ketulusan dengan kepura-puraan. Kalau ada tokoh yang trackrecord-nya jelek dan bermasalah tiba-tiba berubah jadi malaikat, itu jelas pencitraan. Tetapi kalau sebelumnya suka dikenal santun dan merakyat walaupun dia seorang pejabat negara dan sampai sekarang tetap dengan kesantunan dan kesahajaannya seperti Jokowi itu jelas murni tindakan-tindakannya datangnya dari hati, So, mari kita pilih pejabat yang bernurani, bukan memilih kucing dalam karung. Siapa tahu kucingnya awalnya bermuka manis, begitu dipilih malah memangsa majikannya. Sungguh ironis.
Komentar
Posting Komentar